Sabtu, 15 Juni 2013

Dialog Dengan JT Bag 6

Adapun perkataannya yang saya siratkan tadi yaitu, tak ada yang seperti antum duduk di majlis kajian kemudian merasa Imannya sudah betul…Ajib !!.

ini adalah tuduhan yang sangan dusta dan tanpa bukti, di halaman lain yakni hal 69 – 70 ia menuduh Salafiyyun sudah merasa beres aqidahnya dan merasa aman dari sifat munafik.
Wahai penulis ingatlah firman Allah Azza wa Jalla, “katakanlah datangkanlah bukti jika kalian memang benar.
Mana bukti bahwa salafiyyun sudah merasa benar imannya dan merasa aman dari sifat munafik. Salafiyyun hanya meyakini bahwa apa yang diyakininya itu adalah sesuatu yang benar adapun orangnya sendiri maka salafiyyun adalah orang yang paling mengkhawatirkan diri-diri mereka akan terjatuh ke dalam kebinasaan dan kemunafikan karena mereka paham betul makna firman Allah Azza wa Jalla, “Apakah mereka merasa aman dari makar Allah, tidaklah orang yang merasa aman dari makar Allah kecuali orang yang merugi.”
Apakah menurut kalian jika Salafiyyun telah merasa aman dari kemunafikan dan kesyirikan maka mereka akan terus mengkaji ilmu tentang aqidah yang benar. Tapi kenyataannya, karena ketakutan mereka akan terjatuh ke dalam penyimpangan besar berupa bid’ah, kemunafikan dan kesyrikian maka para salafiyyun tak henti-hentinya mengkaji kitab-kitab Aqidah yang ditulis oleh para ulama. Mereka berpindah dari satu kitab ke kitab yang lain padahal pembahasannya mirip-mirip bahkan terkadang beberapa kitab diulang-ulang berapa kali untuk lebih memantapkan faidah. Mereka berpindah dari kitab Ushul Ats Tsalatsah ke Kitab Tauhid Ibnu Abdul Wahhab At Tamimi, Dari Kasyfu Syubuhat Muhmmad At Tamimi An Najdi Ke Kitab At-Tauhid Al Imam Ibnu Khuzaimah, dari Ushulus Sunnah Imam Ahmad ke Al Iqtishad fil I’tiqad Al Hafizh Abdul Ghani Al Maghdisi, dari Syarhus-Sunnah Al barbahari ke Syarhus-Sunnah Al Imam Al Muzani, dan lain-lain dari kitab para ulama. Maka sekarang pertanyaannya, siapakah yang merasa benar keimanannya dan merasa aman dari kemunafikan, apakah orang yang terus menerus mengkaji tentang aqidah tauhid ataukah orang-orang yang mendengar kitabnya saja tidak, apalagi membaca dan mengkajinya yang bahkan mereka hanya bergelut dengan kitab yang penuh dengan hadits lemah bahkan palsu dan juga bid’ah dan khurafat ?
Mereka (para Salafiyyun) juga senantiasa mengkaji ilmu-ilmu fiqih dari hadits-hadits yang shahih sehingga mereka senantiasa menyembah dan beribadah kepada Allah dengan cara yang dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berpindah dari satu kitab fiqih ke kitab fiqih yang lain, mereka berpindah dari Umdatul Ahkam ke Bulughul Maram, dari Al Mughni Ibnu Qudamah ke Munakhlah An Nuniyyah, dari Al Umm Imam Syafi’i ke Al Majmu Imam Nawawi, dan lain-lain dari kitab para ulama. Maka pertanyaannya sekarang siapakah yang merasa takut terjatuh ke dalam penyimpangan beribadah kepada Allah dengan cara yang tidak disyariatkan (bid’ah) apakah orang yang menghabiskan waktunya untuk belajar mengkaji ilmu agama ataukah orang (JT) yang sibuk teriak-teriak ayo shalat tapi ternyata gak tahu kalau yang namanya duduk iq’a itu terlarang dan atau menggulung lengan baju dalam shalat juga terlarang?
Mereka juga senantiasa mengamalkan ilmu yang dimilikinya dan menda’wahkannya ke setiap orang yang mungkin dia da’wahi, mulai dari keluarganya, istri dan anak-anaknya, mengajarkan mereka aqidah yang benar, cara beribadah yang sesuai tuntunan Al Qur’an dan Sunnah. Maka pertanyaannya sekarang, siapakah yang lebih benar cara da’wahnya, orang yang membaca Al Qur’an dan Hadits dan kitab para ulama yang menjelaskannya kemudian mengajarkan kepada keluarga dan orang-orang disekitarnya bahwa yang namanya jimat itu syirik, yang namanya berdoa di kuburan itu adalah wasilah kesyirikan ataukah mereka (JT) yang wara-wiri keliling mesjid bawa kompor dan selimut tapi meninggalkan keluarga, tetangga dan orang disekitarnyanya berkubang kesyririkan bahkan banyak di antara mereka (JT) sendiri masih mengenakan jimat-jimat.
Siapakah yang lebih benar da’wahnya, orang yang datang ke majelis ilmu kemudian pulang kepada keluarganya dan mengajarkannya tentang tata cara mandi junub yang benar, hukum seputar haid dan nifas ataukah orang yang keliling dunia bawa piring dan panci tapi meninggalkan istrinya dalam keadaan tidak tahu membedakan antara haidh, nifas dan istihadhah, bahkan pengertian istihadhahpun istrinya tidak tahu. Bukankah Allah berfirman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka dan Dia juga berfirman kepada Nabinya, Dan berilah peringatan kepada kerabatmu yang terdekat.
Jawablah dengan jujur!!! Sekali lagi

Dialog Dengan JT : Antara Iman, Tauhid dan Aqidah.

Pada halaman 21 penulis berkata, Nabi 13 tahun bina iman sahabat. … di Qur’an hanya di kenal IMAN, AMAL SHOLEH. Tidak dikenal istilah Aqidah, Rububiyyah, Uluhiyyah. Itu semua bukan hakekat iman, itu semua Ilmu Iman, atau kasarnya teory iman.
Kata siapa dalam Al Qur’an tidak ada istilah Aqidah, Rububiyah dan Uluhiyah. Tapi kenapa antum kemudian berhujjah dengan ayat Al Qur’an, Alastu Birabbikum yang dengannya antum menetapkan rububiyahnya Allah Azza wa Jalla. Apa ini bukan namanya tabrak kanan tabrak kiri, hari ini bilang iya besok bilang tidak. Walah… gawat kalau da’i islam begini semua, tapi Alhamdulillah untungnya Salafiyyun tidak begitu. Sekarang mana yang benar pernyataan antum di hal 21 atau tulisan antum di halaman 26 yang menetapkan istilah rububiyah dengan dalil di atas.
Nah, kalau antum sudah menetapkan tentang Rububiyyah Allah Azza wa Jalla dengan ayat Alastu Birabbikum. Maka apa yang makna kata Ilah yang ditarik dari firman Allah Azza wa Jalla,
Allah, tidak ada Ilah yang berhak disembah kecuali Dia.
Bukankah itu maknanya Al Uluhiyyah, kalau antum bilang bukan maka jelaskan apa maknanya?
Adapun Aqidah maka itu adalah penamaan lain dari iman dan keyakinan dan semua ulama telah sepakat akan penggunaannya.
Kemudian siapa bilang Nabi shallallahu alaihi wa sallam bina imannya sahabat Cuma 13 tahun. Maka ketahuilah wahai jahil dari awal da’wah beliau shallallahu alaihi wa sallam sampai meninggalnya beliau shallallahu alaihi wa sallam yang beliau shallallahu alaihi wa sallam serukan adalah tauhid dan salah satu sabda terakhir beliau shallallahu alaihi wa sallam adalah, janganlah kalian menjadika kuburannku sebagai I’ed (sesuatu yang sering didatangi). Apakah maksud beliau shallallahu alaihi wa sallam di atas bukan dalam perkara aqidah karena takutnya beliau shallallahu alaihi wa sallam kuburannya akan dijadikan wasilah kesyirikan.
Pada halaman 23 penulis berkata, BUKAN DUDUK dI Majelis Ta’lim seperti salafy sekarang yang mengaku pengikut salaf..ini salaf yang mana…?
Pernyataan dengan ungkapan senada juga ditulis di halaman 25,  ‘tak ada yang seperti antum duduk di majlis kajian kemudian merasa Imannya sudah betul…Ajib !!.
Maksudnya adalah para sahabat tidaklah duduk di majelis ta’lim untuk mengkaji ilmu tapi mereka mendapatkan iman itu karena telah melewati cobaan, siksaan dan ujian.
Kata siapa wahai karkun bahwa mereka (para sahabat) tidak duduk di majelis, bahkan mereka berkerumun di majelisnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menuntut ilmu yang baru kemudian mereka sampaikan kepada keluarganya. Bahkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga menyiapkan waktu khusus untuk mengajari para wanita, apakah itu bukan majelis ta’lim wahai jahil. Apakah pertemuan di rumah Al Arqam bin Abil Arqam itu bukan majelis ta’lim namanya. Dan antum pun tahu hadits tentang keutamaan majelis dzikir yang para ulama sepakat bahwa yang dimaskud majelis dzikir dalam hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam itu adalah majelis ilmu di mana Al Qur’an dan As Sunnah di bacakan, bukan acara dzikir berjama’ah sebagaimana yang dilakukan oleh teman-teman kalian penganut bid’ah shufiyyah. Tapi seperti perkataan ulama bahwa kaum sufi dulu karena malas menghapal dan belajar hadits maka mereka membuat-buat hadits palsu, maka para sufi jaman sekarang (JT) karena malas belajar maka mereka berdalil dengan hadits-hadits palsu tadi atau dengan hadits shahih bahkan dengan al qur’an tapi ditafsirkan semaunya.
Lantas kalau menurut karkun, para sahabat mendapatkan ilmu dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bukan dengan cara duduk di majelis lantas dengan cara apa.  Ataukah bagaimana menurutmu cara Mujahid, Atha, Ikrimah dan yang lainnya mendapatkan ilmu tentang agama, lewat mimpi[1] ataukah mereka berkerumun di majelisnya Ibnu Abbas dan sahabat lainnya. Bahkan Mujahid bermulazamah atau bermajelis dengan Ibnu Abbas selama puluhan tahun. Adapun cobaan dan siksaan yang mereka hadapi adalah untuk memperkokoh keimanan mereka yang memangsudah dilandasi dengan ilmu hasil bermajelis dengan Rasulullah.
Klo masih belum cukup,simak baik-baik:
Al Imam Asy Syafi’i berkata :, “Aku membacakan (mengajar) kepada manusia, ketika itu aku berusia 13 tahun[2].
Ahmad bin An-Nadhar Al Hilali berkata, “Aku mendengar bapakku berkata, ‘Dahulu aku berada di Majelis Sufyan ibnu Uyainah[3]
Dan banyak lagi atsar-atsar dari para salaf tentang duduknya mereka di Majelis ‘Ilmu, yang kalau antum mau tahu lebih banyak maka bacalah kitab As Siyar A’lami Nubala dan/atau Tadzkiratul Huffazh karya Al Imam Adz Dzahabi
Sekarang pertanyaannya buat antum, Siapa Salaf JT dalam bentuk berda’wah, siapa dari kalangan para Salafush-shalih yang keliling mesjid bermodalkan kompor, selimut dan panci serta kitab yang dipenuhi hadits lemah bahkan palsu dan kisah-kisah yang mungkar?
Sudahlah, akui saja kalau antum malas belajar, kalau antum menyangkal sekarang antum datang dan ikuti kajian yang diadakan oleh salafiyyin yang mengkaji kitab-kitab karya para ulama besar dan setelah itu antum semua belum terlambat kalau mau keluar berda’wah di jalan Allah. Atau mungkin antum akan berkata lagi, ah, itu hanya buang-buang waktu, lebih baik pergi menda’wahkan yang ditahu, ya akhi.. apa yang antum mau da’wahkan sementara cara wudhunya antum saja masih salah dan tidak sesuai sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang antum hendak da’wahkan sementara cara duduk dalam shalat saja masih belum benar. Atau mungkin antum antum mengatakan entar di cuci otaknya, kalau memang kotor ya mesti di cuci dengan Al Qur’an dan Sunnah tapi kalau kalian tidak merasa kotor ya nggak usah merasa takut dicuci. Dan itulah yang bahaya karena pada dasarnya kalian merasa benar sendiri bukan salafiyyin karena kalian enggan di kritik, semua kritikan berdalil Qur’an dan Sunnah mentah di hadapan kepala batunya JT. Adapun salafiyyin silahkan kalau mau mengkritik yang penting berdalil dengan Qur’an dan Sunnah yang shahih berdasarkan pemahaman salafush-shalih bukan berdasarkan pemahaman Maulana Jamil, maulana Zakariya, Maulana ini atau Maulana itu, jangan pakai perasaan dan akal-akalan.

[1]Seperti yang dilakukan oleh big-boss, Mudir dan Founding Fathernya jama’ah Tabligh, Muahmmad Ilyas yang mendapatkan penafsiran ayat 110 dari surat Al Imran melalui mimpi, sebagimana dalam Malfuzhat Ilyas tulisan Muhammad Manshur An Nu’mani dari perkataan Muhammad Ilyas sendiri.
[2]As Siyar 10/54
[3]Al Kifaya fi ‘Ilmi Ar Riwayah (hal 112), As Siyar 8/404
Al Imam Syafi’I dan Al Imam Ibnu Uyainah adalah dari generasi Atba’ut Tabi’in dari generasi Salaf.
Jawablah dengan jujur!!! Sekali lagi
kokohkan dulu singgasanamu kemudian ukirlah baik-baik.
    http://aboeshafiyyah.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar