Senin, 17 Juni 2013

Dialog Dengan JT Bag 8


Dialog Dengan JT : Di Antara Da’wah Adalah Menjelaskan Penyimpangan


JT : salafiyyun memang gak pernah mau kalah ya. saya tanya berapa sudah pecahan salafi dan kalian saling caci antar kalian. Sampai pendiri atau pembawa salafi pertama di negeri ini Al Ustadz ja’far Umar Thalib (semoga Alloh menjaganya) hari ini tak lagi dikatakan salafiyah oleh kalian bahkan kalian menyesatkannya padahal sama-sama memakai Al Qur’an dan hadits.[1]
STI : (bengong)
JT : (senyum-senyum) tuh kan akhirnya takluk juga. Ayolah ngaku aja
STI : (geleng-geleng kepala, dalam hati berpikir, inilah maksudnya ulama, engkau tak akan bisa melawan orang bodoh berdebat, dijelaskan dia gak ngerti)
ana benar-benar gak habis pikir dengan cara pikir antum, yang namanya salafiyyun itu satu, gak pernah berpecah, yang ada adalah orang yang berjalan di atasnya atau menyempal dari manhaj salaf semisal yang antum sebutkan tadi, yaitu Ja’far Umar Thalib –semoga Allah mengembalikannya ke manhaj salaf. Ana heran antum kok gak bisa ngambil pelajaran dari peristiwa ini malah menjadikannya sebagai syubhat dan dalil. Apa antum gak lihat dari peristiwa ini menunjukkan bahwa yang naamanya salafy yang benar-benar berjalan di atas manhaj salaf tidak bisa mentoleransi sedikitpun penyimpangan dalam agama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan akan menjelaskan penyimpangan tersebut, menasehati pelakunya –dan para asatidz yang merupakan murid-murid Ja’far Umar Thalib telah menasehatinya- yang jika tetap membandel di atas penyimpangannya, ya dijauhi agar tidak terjangkiti penyimpangannya, sebab bid’ah itu lebih hebat dari penyakit rabies, walaupun yang menyimpang dan harus dijauhi itu adalah orang-orang yang sebelumnya demikian dihormati.
Semua harakah, kelompok dan umat islam sampaipun kepada yang paling bejat dan sampai ke level kafir seperti Syi’ah Rafidhah pun mengaku memakai Al Qur’an dan Hadits. Makanya di tanya Al Qur’an dan Hadits di atas pemahaman siapa? Jadi ya, dengan tegas salafiyyun katakan kalau Ja’far Umar Thalib telah menyempal dari manhaj salafiyyun ahlus sunnah wal jama’ah, cukuplah ikutnya dia dan pembelaannya terhadap bid’ah dan pelakunya sebagai bukti akan hal itu.
Masih ada pertanyaan soal ini?
JT : Antum kok berani sekali mengatakan Syi’ah1 itu orang kafir, hati-hati nanti hadits yang antum bacakan tadi kena, jangan-jangan antum yang kafir.
STI : Orang yang mengatakan bahwa Syi’ah seperti Khomeidi atau Ahmadi Nejad itu bukan orang kafir tapi orang islam juga maka dialah yang bukan orang islam. Ya dengan tegas saya katakan agama syi’ah adalah agama Kafir.
JT : betul-betul kalian itu para Salafiyyun sangat ekstrim ya.
STI : kalau memang kafir ya bilang kafir. Ana mau tanya apakah masih Islam orang yang mengatakan Abu Bakar dan Umar itu Murtad? Apakah masih islam orang yang meyakini bahwa tidaklah matahari terbit dan tenggelam kecuali setelah meminta izin kepada Ali bin Abi Thalib? Apakah masih muslim orang yang mengatakan Aisyah – istri rasulullah di dunia dan akhirat – itu adalalh pelacur? Kita tidak sedang membahas tentang Syi’ah. Apa antum mengatakan mereka masih muslim?
JT : ya nggak, tapi salafy itu gak punya hikmah dalam berdakwah, terlalu keras, sedikit-sedikit bid’ah, sedikit-sedikit syirik, sedikit-sedikit sesat.


[1]Lihat buku SVJT halaman 67

Dialog Dengan JT : Di Antara Ma’na “Hikmah” Dalam Da’wah


JT : ya nggak, tapi salafy itu gak punya hikmah dalam berdakwah, terlalu keras, sedikit-sedikit bid’ah, sedikit-sedikit syirik, sedikit-sedikit sesat.
STI : ana mau tanya apa sih maksud hikmah menurut JT?
JT : hikmah itu ya lemah lembut dalam berda’wah, disampaikan dengan cara yang lemah lembut.
STI : oo, jadi menurut antum hikmah itu, ada ahli bid’ah mari, ada ahli syirik silahkan, ada tukang takhayyul monggo, ada ahli khurafat jangan diingkari, ada acara bid’ah hadiri. Antum pernah baca kisahnya Ka’ab bin Malik?
JT : pernah.
STI : kalau menurut versi antum apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersikap hikmah menyikapi Ka’ab bin Malik radhiallahu anhu atau tidak?
JT : ya hikmah dunk masak beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak hikmah.
STI : tapi sikap beliau sangat keras, memboikot bahkan tidak mengajak bicara, tidak menjawab salam bahkan disuruh menjauhi istrinya. Jadi dari sini apa makna hikmah?
Ana tanya lagi pernah dengar kisah Ash Shabigh Al Iraqy?
JT : nggak, cerita apa tuh
STI : makanya belajar akhi, mau dengar?
JT : (ngangguk)
STI : maka simak baik-baik
Seorang lelaki dari bani Tamim yang bernama Shabigh datang ke Madinah, ia banyak memiliki kitab, namun sering bertanya-tanya tentang ayat-ayat mutasyabihat. Berita inipun sampai ketelinga Umar bin Khatab, maka beliau mengirim surat kepada Amr bin Ash – Gubernur Mesir- karena saat itu Shabigh sedang berada di Mesir, agar menahan Shabigh dan mengirimnya ke Madinah. Ketika Shabigh datang Umar sudah menyiapkan pelepah kurma, ketika orang itu sudah menemuinya, ia pun duduk. Umar bertanya:”Siapa kamu?” lelaki itu menjawab:” Saya Shabigh”. Umar kemudian berkata:”Saya Umar, hamba Allah”. Umar lalu menghajar lelaki itu dengan pelepah kurma, sampai kepalanya mengeluarkan darah. Kemudian setelah itu diserahkan untuk diobati kemudian dipanggil dan dipukul lagi dengan pelepah kurma, demikian berulang-ulang. Maka Shabigh berkata:”Cukup, wahai amiril Mukminin, jika anda hendak membunuhku maka bunuhlah dengan cara yang baik adapun jika anda hendak mengobatiku maka demi Allah, kini sudah hilang yang selama ini bersarang di kepalaku”, kemudian Shabigh dikembalikan ke kaumnya dan Umar mengirimkan surat kepada Gubernur Iraq pada saat itu –kalau tidak salah Abu Musa Al Asyari- memerintahkan agar kaum muslimin tidak mengajaknya berbicara dengan Shabigh, sampai Shabigh benar-benar sembuh dari ‘penyakit’. Setelah Shabigh benar-benar sembuh dari penyakit suka bertanya-tanya tentang ayat mutasyabihat, maka umar membolehkan kaum muslimin untuk bergaul dengan Shabigh.
Sekarang ana tanya pa menurut antum perbuatan Umar itu Hikmah atau tidak?
JT : itu…itu…itu…
STI : kisah ini shahih dan masyhur dan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah tidak sebagaimana kebanyakan kisah-kisah dalam kitab kalian fadhailul a’mal yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Jadi hikmah artinya menempatkan sesuatu pada tempatnya yang tidak bisa dilakukan kecuali dengan ilmu, makanya Allah di namai Al Hakim dan seringnya nama ini digandengkan dengan nama Al ‘Alim karena Dia menempatkan sesuatu pada tempatnya, di beri petunjuk orang yang memang menghendaki dan menempuh jalan untuk mendapatkan petunjuk dan disesatkan orang-orang yang memang menghendaki dan menempuh jalan-jalan kesesatan yang kesemua itu dibangun di atas ilmu Allah yang Maha Luas.
Jadi kalau bid’ah ya bilang bid’ah, syirik ya bilang syirik, khurafat ya bilang khurafat. Agama ini nasehat, masa kita sudah tahu kalau itu adalah racun kita mau biarkan saudara kita meminumnya, dah ditahu kalau itu syirik tapi umat tidak diperingatkan.
Jadi kalian yang mendiamkan da’wah kepada Tauhid, menyuburkan bid’ah dan bergaul dengan tokoh-tokohnya, membela Muhammad Zakariya Al Kandahlawy yang berpemahaman wihdatul wujud – jangan di potong nanti ana kasih bukti dari bukunya sendiri- dan membela tokoh-tokoh bid’ah yang lainlah yang tidak hikmah karena diam bahkan buta akan kebenaran.
Kalian yang juga berda’wah tanpa ilmu itu juga namanya tidak hikmah sebab yang namanya da’wah itu harus dengan ilmu, itu baru namanya hikmah.

Dialog Dengan JT : Mulailah Dengan Tauhid


JT : tapi kan da’wah harus tetap jalan.
STI : kalau misalnya antum kena penyakit katarak yang harus dioperasi apakah antum akan membiarkan dokter yang masih coast mengoperasi antum? Gratis tanpa di bayar.
JT : ana gak ngerti maksud antum apa hubungannya dengan semua ini. Tapi jelas saja ana nggak mau, biar gratis la wong masih coast, ana cari dokter spesialis walaupun harus bayar jutaan.
STI : ya akhi itu urusan dunia, urusan mata yang resikonya hanya buta atau cacat lain yang akan selesai dengan kematian antum gak berani. Lantas gimana antum berani berda’wah tanpa ilmu yang cukup, padahal urusannya cuma surga atau neraka yang justru dimulai setelah kematian. Untuk urusan operasi katarak gak mau ditangani oleh dokter coast padahal dokter loh yang sudah pelajari hal itu bertahun-tahun, bukan sarjana pertanian yang tahunya teori serbuk sari atau bibit unggul. Tapi pas giliran urusan agama, urusan akhirat, urusannya surga dan neraka gak apa-apa baru tobat dari mabuk-mabukan juga bisa berda’wah, ntar belajarnya sambil jalan, yang penting khuruj. Ya akhi apakah ini hikmah namanya? Apakah seseorang bisa jadi dokter atau insinyur atau guru tanpa belajar dulu? Apakah bisa dibenarkan orang yang tidak pernah mendalami ilmu agama kemudian pantas jadi da’i dan dalam sehari bergelar ustadz? Apakah ini yang namanya hikmah. Seorang yang sudah kuliah di IKIP 4 tahun gak lantas jadi guru atau dosen tapi harus ikut tes dulu,  apakah kemudian untuk urusan surga dan neraka, orang bisa seenaknya langsung jadi da’i padahal cara wudhu aja dia gak paham. apakah ini hikmah namanya? Ya akhi’ jadilah orang yang inshaf yang mengerti kemampuan diri sendiri, jangan berlandaskan semangat aja, tapi dengan ilmu.
JT : tapi kan harus ada yang berda’wah
STI : gak ada yang melarang tuan berdakwah, tapi berilmulah dulu sebelum berdakwah. Bukankah kata antum sendiri menukil firman Allah dalam surat Yusuf 108 bahwa berdakwah itu harus dengan hujjah yang nyata , dengan bashirah yang kuat dan mantap, dengan ilmu yang benar bersumber dari Al Qur’an dan Sunnah sesuai pemahaman salaful ummah. Berdakwah itu ada aturannya.
JT : Kami juga berdakwah ada aturannya, manhaj da’wah kami sesuai dengan da’wah para Nabi, dakwah kami adalah amalan anbiya yaitu Dakwah, Ta’lim watta’lim, dzikir ibadat dan khidmat. Coba baca surat Al Jumu’ah ayat 2 dan Ali ‘Imran ayat 164. Manhaj Nabi berdakwah kan hanya mengajak kepada Allah, dan mendatangi manusia, dan tak minta upah dalam berdakwah. Jadi adakah ke tiga ciri manhaj da’wah ini pada kalian??
Justru ketiganya ada di JT tau…[1]
STI : Aturan dakwah itu aturannya harus dari Allah dan Rasul-Nya, adapun dalil antum surat Al Jumu’ah dan Ali ‘Imran tidaklah pada tempatnya berdalil dengan ayat itu. Telah dijelaskan di atas bahwa inti dan tujuan da’wah para Nabi dan Rasul adalah menyeru agar hanya mentauhidkan Allah saja dalam seluruh hal, dalam Rububiyyah, Uluhiyyah maupun Asma wa Shifat-Nya dan yang menjadi titik penekanan da’wah mereka alaihimussalam adalah masalah Uluhiyyah atau Ubudiyyah sebagaimana akan datang dalilnya, sekarang ana tanya adakah da’wah antum akan hal itu? Bahkan kalian lari sejauh-jauhnya karena menurut pandangan antum dan ini terlontar dari mulut-mulut anggota JT bahkan dari yang sudah senior dan bergelar Syaikh bahwa dakwah kepada Tauhid Uluhiyyah akan memecah belah umat dan membuat umat lari. Apakah begini da’wah para Nabi?
Jadi ya, na’am…. apa yang antum sebut itu ada pada da’wah Salafiyyah dan ana gak lihat adanya hal itu di JT terlebih yang pertama. Sebab da’wah para Nabi alaihimussalam adalah mengajak untuk mentauhidkan Allah ‘Azza wa jalla dalam ibadah, menasehati dan menyeru manusia agar meninggalkan kesyirikan. Sekali lagi adakah kalian melakukan itu?


[1]Lihat buku SVJT halaman 32 – 39 dan hal 68

Dialog Dengan JT : Siapa Bilang Salafiyyun Tidak “KHURUJ”?


JT : tapi antum gak datangi manusia untuk mengajak mereka kepada Allah.
STI : siapa bilang, para asatidz salafiyyun keliling negeri bahkan sampai ke luar negeri untuk berda’wah dan mengajak manusia agar mentauhidkan Allah dalam ibadah (tauhid uluhiyyah) dan baru-baru ini selesai daurah di jogja yang dihadiri oleh ulama dari Saudi, Yaman dan Kuwait. Para Asatidzah keliling Indonesia untuk memenuhi undangan mengisi ta’lim. Insya-Allah Al Ustadz Dzulqarnain (baca infonya di www.dzulqarnain.net) dalam waktu dekat ini akan mengisi daurah di Tokyo.
jadi na’am, da’wah harus tetap jalan tapi dengan ilmu dan bashiroh maka serahkanlah kepada ahlinya, adapun kita belajar terlebih dahulu kemudian berda’wah sesuai keilmuan yang dimiliki sebab kalau semua orang boleh berda’wah walaupun tanpa ilmu maka sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “jika suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancurannya.
Jadi berda’wah sesuai kemampuan dan keilmuan. Ilmui dulu sesuatu kemudian amalkan,kemudian da’wahkan dan bersabarlah di atasnya. Itulah manhaj para Nabi atau menurut istilah antum amalan anbiya yaitu berilmu, beramal, berda’wah dan bersabar di atasnya sebagaimana dijelaskan oleh para ulama ketika menafsirkan surat Al ‘Ash (wal ‘ashri)
Imam Asy-Syafi’i[1]  Rahimahullah Ta’ala, mengatakan :”Seandainya Allah hanya menurunkan surah ini saja sebagai hujjah buat makhluk-Nya, tanpa hujjah lain, sungguh telah cukup surat ini sebagai hujjah bagi mereka”.
Dan ilmu yang paling utama dan yang paling penting adalah mengenal Allah Azza wa Jalla, mengenal islam dan mengenal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengenal Allah Azza wa Jalla bukan berarti hanya meyakini bahwa Dia ada tapi mengilmui cara beribadah kepada-Nya dengan benar sesuai yang diperintahkan-Nya, yang artinya harus mengetahui makna Laa Ilaha Illallah –jangan dipotong, akan datang nanti insyaAllah bahwa antum gak ngerti atau salah dalam memahami makna Laa Ilaha Illallah- apa-apa yang membatalkannya, mengenal dan mempelajari nama-nama dan sifat-sifat Allah Azza wa Jalla dengan pemahaman yang benar yaitu pemahaman salafush-shalih, mengenal islam dan kesempurnaannya, mengenal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengikuti sunnah-sunnah beliau, pokoknya mengenal agama ini dan masuk ke dalamnya secara kaffah, secara sempurna.
Di atas manhaj inilah, di atas manhaj ilmu dan bashirah, amal, da’wah dan kesabaran inilah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka (salafiyyun) berjalan. Apakah menurut antum para sahabat – yang telah kalian hina dengan mengatakan tidak semua sahabat ‘alim – tidak mengilmui apa-apa yang saya sebutkan di atas. Cukuplah ucapan kalian di atas bahwa sahabat tidak semuanya ‘alim menunjukkan jauhnya kalian dari ilmu yang syar’i.

JT : kami tidak memaksudkan ucapan itu untuk menghina sahabat, kami semua mengakui keutamaan mereka makanya kami mencoba mengikuti mereka.
STI : Ana mengerti tapi hendaknya kita berhati-hati dalam menggunakan kata dan kalimat untuk mengungkapkan sesuatu sebab kesesatan dan kekufuran itu bisa terjadi hanya dengan kata-kata. Nabi shallallahu ‘alaihi wa salllam bersabda, ”janganlah kalian mencela sahabatku,’ beliau juga bersabda,”jika yang disebut (kesalahan) sahabatku maka tahanlah lidah-lidah kalian.”
Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Muadz bin Jabal, “Semoga engkau selamat. Adakah yang menjadikan orang menyungkurkan mukanya (atau ada yang meriwayatkan batang hidungnya) di dalam neraka, selain ucapan lidah-lidah mereka?”
Abu Hurairah radhiallahu anhu,beliau berkata, “Ia telah mengucapkan suatu kalimat yang membinasakan dunia dan akhiratnya.

[1]               Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Al-’Abbas bin ‘Utsman bin Syafi’i Al-Hasyim Al-Quraisy Al-Muthallibi (150-204H – 767-820M) Salah seorang imam Empat. Dilahirkan di Gaza (Palestina) dan meninggal di Cairo. Diantara karya ilmiyahnya Al-Umm, Ar-Risalah dan Al-Musnad

Dialog Dengan JT : Para Utusan Rasulullah Adalah Orang Yang Berilmu


JT : kamipun beramal, berda’wah dan kami adalah orang yang sangat sabar dalam hal itu, kami tinggalkan anak dan istri, kampung halaman untuk berda’wah, kami rela kedinginan, semua itu untuk satu tujuan yaitu menda’wahkan agama Allah Azza wa Jalla.
STI : Imam Al-Bukhari1 Rahimahullah Ta’ala, mengatakan :”Bab Ilmu didahulukan sebelum ucapan dan perbuatan”.
Dalilnya firman Allah Ta’ala.
Maka ketahuilah, sesungguhnya tiada sesembahan (yang Haq) selain Allah dan mohonlah ampunan atas dosamu”. (Muhammad : 19).
Dalam ayat ini, Allah memerintahkan terlebih dahulu untuk berilmu (agama) sebelum ucapan dan perbuatan.
Jadi kalian kehilangan atau kurang dalam pondasi yakni ilmu, dan bangunan da’wah kalian itu dibangun di atas pondasi yang rapuh. Agama tidak bisa dibangun di atas semangat saja tapi harus di atas ilmu.
nah sekarang kembali ke masalah radio dan internet yang kata kelompoknya akang bukan sekedar bid’ah tapi Super Bid’ah. Antum dah mengerti tentang bid’ah dan dah tahu tentang kaidah fiqih yang menyatakan bahwa hukum asal semua benda adalah halal sampai ada dalil yang mengharamkannya. Sekarang ana tanya aoakah ada dalil yang mengharammkannya. Dan ana tanya juga jika seandainya di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa salllam dah ada radio dan internet, apakah menurut antum beliau tidak akan menggunakannya sebagai sarana da’wah.
JT : (diam)
STI : yang berikutnya soal jamah da’wah.
Kemudian sekarang tunjukkan kepadaku dalil bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim jamaah da’wah, yang ada adalah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim sahabatnya orang per orang atau sendiri-sendiri, beliau mengutus Ali sendiri, Ibnu Mas’ud sendiri, Muadz sendiri, dan bahkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mushab bin Umair ke Madinah sendiri. Adapun kalau maksud kalian adalah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus sekumpulan sahabat untuk berperang maka sangat jauh untuk menjadikan dalil bagi model da’wah kalian. Tunjukkan padaku satu dalil bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus sahabatnya secara berjama’ah keliling mesjid sambil bawa kompor dan selimut dalam keadaan mereka buta akan apa yang mau dida’wahkan.
Sepanjang yang ana tahu, hanya dua kali beliau mengutus sahabatnya murni untuk berda’wah, bukan berperang dalam bentuk berkelompok yaitu
Yang Pertama ke kabilah ‘Udhal dan Qarah atas permintaan mereka, tapi ini berakgir tragis ketikaa 10 orang yang diutus di bawah pimpinan ‘Ashim bin Tsabit radhiallahu anhu dikhianati dan 8 orang di bunuh termasuk ‘Ashim bin Tsabit sementara 2 orang lainnya yaitu Khubaib bin ‘Adi dan Zaid bin Ad Datsinah radhiallahu anhuma di tawan dan diserahkan ke kaum quraisy yang kemudian di bunuh oleh mereka.
Yang Kedua yaitu ketika beliau mengutus 70 orang sahabat dari para penghafal qur’an ke daerah Najd atas permintaan Abu Bara’ bin Malik tapi kali inipun berakhir tragis dengan terbunuhnya mereka semua kecuali Ka’b bin Zaid dan ‘Amr bin Umayyah Adh-Dhamry. Rincian kisah ini bisa antum lihat di buku SIRAH NABAWIYYAH terbitan Ash Shaff Media halaman 249 – 252. Kalau antum tidak punya nanti ana pinjami lagi
JT : tuh kan ada dalilnya bolehnya berda’wah secara berkelompok
STI : ntar dulu, orang belum selesai ngomong. Disini pun tidak ada dalil bagi kalian, karena yang diutus oleh mereka adalah para qurrah yang ahli qur’an bukan sembarang orang yang baru masuk islam atau baru kemarin berhenti dari preman pasar. Disana juga tidak ada ketentuan bahwa harus sekian hari, dan mereka diutus untuk mengajarkan agama secara menyeluruh bukan sekedar mengajarkan dan mengajak orang shalat, bahkan yang paling pertama mereka diperintahkan adalah untuk menyeru manusia untuk mentauhidkan Allah dalam ibadah. Dan ternyata mereka pun menghadapi pengkhianatan dan siksaan sementara kalian keluar masuk kampung gak di apa-apain maka sungguh jauh bila mau dibandingkan.
Jadi dari kisah di atas dan ditambah kisah pengutusan Muadz bin Jabal ke Yaman ditarik kesimpulan seorang da’i dalam berda’wah itu harus memiliki beberapa kriteria yaitu :
  1. Berilmu akan apa yang harus dida’wahkannya
  2. Memulai dari yang paling utama kepada yang utama berikutnya yaitu memulai dengaan da’wah kepada mentauhidkan Allah ‘Azza wa Jalla dalam ibadah.
Adakah kriteria di atas pada manhaj da’wah JT, tentang hal ini akan di ulas lebih lanjut nanti?
JT : (Hening berpikir)

-------------------------------------------------------------
[1] Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah Al- Bukhari (194-256H – 810-870M) Seorang Ulama ahli Hadits. Untuk mengumpulkan hadits ia telah menempuh perjalanan yang panjang, mengunjungi Khurasan, Irak, Mesir dan Syam. Kitab-kitab yang disusunnya antara lain Al-Jaami Ash-Shahih (yang lebih dikenal dengan Shahih Bukhari), At-Taarikh, Adh-Dhu’afaa, Khalq Af’aal al-Ibaad. 3.Al-Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Al-’ilm, bab.10

--------------------------------------------
http://aboeshafiyyah.wordpress.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar