Dialog Dengan JT : Di Antara Da’wah Adalah Menjelaskan Penyimpangan
JT : salafiyyun memang gak pernah mau kalah ya. saya tanya berapa sudah pecahan salafi dan kalian saling caci antar kalian. Sampai pendiri atau pembawa salafi pertama di negeri ini Al Ustadz ja’far Umar Thalib (semoga Alloh menjaganya) hari ini tak lagi dikatakan salafiyah oleh kalian bahkan kalian menyesatkannya padahal sama-sama memakai Al Qur’an dan hadits.[1]
STI : (bengong)
JT : (senyum-senyum) tuh kan akhirnya takluk juga. Ayolah ngaku aja
STI
: (geleng-geleng kepala, dalam hati berpikir, inilah maksudnya ulama,
engkau tak akan bisa melawan orang bodoh berdebat, dijelaskan dia gak
ngerti)
ana
benar-benar gak habis pikir dengan cara pikir antum, yang namanya
salafiyyun itu satu, gak pernah berpecah, yang ada adalah orang yang
berjalan di atasnya atau menyempal dari manhaj salaf semisal yang antum
sebutkan tadi, yaitu Ja’far Umar Thalib –semoga Allah mengembalikannya
ke manhaj salaf. Ana heran antum kok gak bisa ngambil pelajaran dari
peristiwa ini malah menjadikannya sebagai syubhat dan dalil. Apa antum
gak lihat dari peristiwa ini menunjukkan bahwa yang naamanya salafy yang
benar-benar berjalan di atas manhaj salaf tidak bisa mentoleransi
sedikitpun penyimpangan dalam agama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan akan menjelaskan penyimpangan tersebut, menasehati pelakunya –dan
para asatidz yang merupakan murid-murid Ja’far Umar Thalib telah
menasehatinya- yang jika tetap membandel di atas penyimpangannya, ya
dijauhi agar tidak terjangkiti penyimpangannya, sebab bid’ah itu lebih
hebat dari penyakit rabies, walaupun yang menyimpang dan harus dijauhi
itu adalah orang-orang yang sebelumnya demikian dihormati.
Semua
harakah, kelompok dan umat islam sampaipun kepada yang paling bejat dan
sampai ke level kafir seperti Syi’ah Rafidhah pun mengaku memakai Al
Qur’an dan Hadits. Makanya di tanya Al Qur’an dan Hadits di atas
pemahaman siapa? Jadi ya, dengan tegas salafiyyun katakan kalau Ja’far
Umar Thalib telah menyempal dari manhaj salafiyyun ahlus sunnah wal
jama’ah, cukuplah ikutnya dia dan pembelaannya terhadap bid’ah dan
pelakunya sebagai bukti akan hal itu.
Masih ada pertanyaan soal ini?
JT : Antum kok berani sekali mengatakan Syi’ah1 itu orang kafir, hati-hati nanti hadits yang antum bacakan tadi kena, jangan-jangan antum yang kafir.
STI
: Orang yang mengatakan bahwa Syi’ah seperti Khomeidi atau Ahmadi Nejad
itu bukan orang kafir tapi orang islam juga maka dialah yang bukan
orang islam. Ya dengan tegas saya katakan agama syi’ah adalah agama
Kafir.
JT : betul-betul kalian itu para Salafiyyun sangat ekstrim ya.
STI
: kalau memang kafir ya bilang kafir. Ana mau tanya apakah masih Islam
orang yang mengatakan Abu Bakar dan Umar itu Murtad? Apakah masih islam
orang yang meyakini bahwa tidaklah matahari terbit dan tenggelam kecuali
setelah meminta izin kepada Ali bin Abi Thalib? Apakah masih muslim
orang yang mengatakan Aisyah – istri rasulullah di dunia dan akhirat –
itu adalalh pelacur? Kita tidak sedang membahas tentang Syi’ah. Apa
antum mengatakan mereka masih muslim?
JT
: ya nggak, tapi salafy itu gak punya hikmah dalam berdakwah, terlalu
keras, sedikit-sedikit bid’ah, sedikit-sedikit syirik, sedikit-sedikit
sesat.
[1]Lihat buku SVJT halaman 67
Dialog Dengan JT : Di Antara Ma’na “Hikmah” Dalam Da’wah
JT
: ya nggak, tapi salafy itu gak punya hikmah dalam berdakwah, terlalu
keras, sedikit-sedikit bid’ah, sedikit-sedikit syirik, sedikit-sedikit
sesat.
STI : ana mau tanya apa sih maksud hikmah menurut JT?
JT : hikmah itu ya lemah lembut dalam berda’wah, disampaikan dengan cara yang lemah lembut.
STI
: oo, jadi menurut antum hikmah itu, ada ahli bid’ah mari, ada ahli
syirik silahkan, ada tukang takhayyul monggo, ada ahli khurafat jangan
diingkari, ada acara bid’ah hadiri. Antum pernah baca kisahnya Ka’ab bin
Malik?
JT : pernah.
STI : kalau menurut versi antum apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersikap hikmah menyikapi Ka’ab bin Malik radhiallahu anhu atau tidak?
JT : ya hikmah dunk masak beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak hikmah.
STI
: tapi sikap beliau sangat keras, memboikot bahkan tidak mengajak
bicara, tidak menjawab salam bahkan disuruh menjauhi istrinya. Jadi dari
sini apa makna hikmah?
Ana tanya lagi pernah dengar kisah Ash Shabigh Al Iraqy?
JT : nggak, cerita apa tuh
STI : makanya belajar akhi, mau dengar?
JT : (ngangguk)
STI : maka simak baik-baik
Seorang
lelaki dari bani Tamim yang bernama Shabigh datang ke Madinah, ia
banyak memiliki kitab, namun sering bertanya-tanya tentang ayat-ayat
mutasyabihat. Berita inipun sampai ketelinga Umar bin Khatab, maka
beliau mengirim surat kepada Amr bin Ash – Gubernur Mesir- karena saat
itu Shabigh sedang berada di Mesir, agar menahan Shabigh dan mengirimnya
ke Madinah. Ketika Shabigh datang Umar sudah menyiapkan pelepah kurma,
ketika orang itu sudah menemuinya, ia pun duduk. Umar bertanya:”Siapa
kamu?” lelaki itu menjawab:” Saya Shabigh”. Umar kemudian berkata:”Saya
Umar, hamba Allah”. Umar lalu menghajar lelaki itu dengan pelepah kurma,
sampai kepalanya mengeluarkan darah. Kemudian setelah itu diserahkan
untuk diobati kemudian dipanggil dan dipukul lagi dengan pelepah kurma,
demikian berulang-ulang. Maka Shabigh berkata:”Cukup, wahai amiril
Mukminin, jika anda hendak membunuhku maka bunuhlah dengan cara yang
baik adapun jika anda hendak mengobatiku maka demi Allah, kini sudah
hilang yang selama ini bersarang di kepalaku”, kemudian Shabigh
dikembalikan ke kaumnya dan Umar mengirimkan surat kepada Gubernur Iraq
pada saat itu –kalau tidak salah Abu Musa Al Asyari- memerintahkan agar
kaum muslimin tidak mengajaknya berbicara dengan Shabigh, sampai Shabigh
benar-benar sembuh dari ‘penyakit’. Setelah Shabigh benar-benar sembuh
dari penyakit suka bertanya-tanya tentang ayat mutasyabihat, maka umar
membolehkan kaum muslimin untuk bergaul dengan Shabigh.
Sekarang ana tanya pa menurut antum perbuatan Umar itu Hikmah atau tidak?
JT : itu…itu…itu…
STI
: kisah ini shahih dan masyhur dan bisa dipertanggungjawabkan secara
ilmiah tidak sebagaimana kebanyakan kisah-kisah dalam kitab kalian fadhailul a’mal
yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Jadi hikmah artinya menempatkan
sesuatu pada tempatnya yang tidak bisa dilakukan kecuali dengan ilmu,
makanya Allah di namai Al Hakim dan seringnya nama ini digandengkan dengan nama Al ‘Alim
karena Dia menempatkan sesuatu pada tempatnya, di beri petunjuk orang
yang memang menghendaki dan menempuh jalan untuk mendapatkan petunjuk
dan disesatkan orang-orang yang memang menghendaki dan menempuh
jalan-jalan kesesatan yang kesemua itu dibangun di atas ilmu Allah yang
Maha Luas.
Jadi
kalau bid’ah ya bilang bid’ah, syirik ya bilang syirik, khurafat ya
bilang khurafat. Agama ini nasehat, masa kita sudah tahu kalau itu
adalah racun kita mau biarkan saudara kita meminumnya, dah ditahu kalau
itu syirik tapi umat tidak diperingatkan.
Jadi
kalian yang mendiamkan da’wah kepada Tauhid, menyuburkan bid’ah dan
bergaul dengan tokoh-tokohnya, membela Muhammad Zakariya Al Kandahlawy
yang berpemahaman wihdatul wujud – jangan di potong nanti ana
kasih bukti dari bukunya sendiri- dan membela tokoh-tokoh bid’ah yang
lainlah yang tidak hikmah karena diam bahkan buta akan kebenaran.
Kalian
yang juga berda’wah tanpa ilmu itu juga namanya tidak hikmah sebab yang
namanya da’wah itu harus dengan ilmu, itu baru namanya hikmah.
Dialog Dengan JT : Mulailah Dengan Tauhid
JT : tapi kan da’wah harus tetap jalan.
STI : kalau misalnya antum kena penyakit katarak yang harus dioperasi apakah antum akan membiarkan dokter yang masih coast mengoperasi antum? Gratis tanpa di bayar.
JT : ana gak ngerti maksud antum apa hubungannya dengan semua ini. Tapi jelas saja ana nggak mau, biar gratis la wong masih coast, ana cari dokter spesialis walaupun harus bayar jutaan.
STI
: ya akhi itu urusan dunia, urusan mata yang resikonya hanya buta atau
cacat lain yang akan selesai dengan kematian antum gak berani. Lantas
gimana antum berani berda’wah tanpa ilmu yang cukup, padahal urusannya
cuma surga atau neraka yang justru dimulai setelah kematian. Untuk
urusan operasi katarak gak mau ditangani oleh dokter coast
padahal dokter loh yang sudah pelajari hal itu bertahun-tahun, bukan
sarjana pertanian yang tahunya teori serbuk sari atau bibit unggul. Tapi
pas giliran urusan agama, urusan akhirat, urusannya surga dan neraka
gak apa-apa baru tobat dari mabuk-mabukan juga bisa berda’wah, ntar
belajarnya sambil jalan, yang penting khuruj. Ya akhi apakah ini hikmah
namanya? Apakah seseorang bisa jadi dokter atau insinyur atau guru tanpa
belajar dulu? Apakah bisa dibenarkan orang yang tidak pernah mendalami
ilmu agama kemudian pantas jadi da’i dan dalam sehari bergelar ustadz?
Apakah ini yang namanya hikmah. Seorang yang sudah kuliah di IKIP 4
tahun gak lantas jadi guru atau dosen tapi harus ikut tes dulu, apakah
kemudian untuk urusan surga dan neraka, orang bisa seenaknya langsung
jadi da’i padahal cara wudhu aja dia gak paham. apakah ini hikmah
namanya? Ya akhi’ jadilah orang yang inshaf yang mengerti kemampuan diri sendiri, jangan berlandaskan semangat aja, tapi dengan ilmu.
JT : tapi kan harus ada yang berda’wah
STI
: gak ada yang melarang tuan berdakwah, tapi berilmulah dulu sebelum
berdakwah. Bukankah kata antum sendiri menukil firman Allah dalam surat
Yusuf 108 bahwa berdakwah itu harus dengan hujjah yang nyata , dengan bashirah
yang kuat dan mantap, dengan ilmu yang benar bersumber dari Al Qur’an
dan Sunnah sesuai pemahaman salaful ummah. Berdakwah itu ada aturannya.
JT
: Kami juga berdakwah ada aturannya, manhaj da’wah kami sesuai dengan
da’wah para Nabi, dakwah kami adalah amalan anbiya yaitu Dakwah, Ta’lim
watta’lim, dzikir ibadat dan khidmat. Coba baca surat Al Jumu’ah ayat 2
dan Ali ‘Imran ayat 164. Manhaj Nabi berdakwah kan hanya mengajak kepada
Allah, dan mendatangi manusia, dan tak minta upah dalam berdakwah. Jadi
adakah ke tiga ciri manhaj da’wah ini pada kalian??
Justru ketiganya ada di JT tau…[1]
STI
: Aturan dakwah itu aturannya harus dari Allah dan Rasul-Nya, adapun
dalil antum surat Al Jumu’ah dan Ali ‘Imran tidaklah pada tempatnya
berdalil dengan ayat itu. Telah dijelaskan di atas bahwa inti dan tujuan
da’wah para Nabi dan Rasul adalah menyeru agar hanya mentauhidkan Allah
saja dalam seluruh hal, dalam Rububiyyah, Uluhiyyah maupun Asma wa Shifat-Nya dan yang menjadi titik penekanan da’wah mereka alaihimussalam adalah masalah Uluhiyyah atau Ubudiyyah sebagaimana
akan datang dalilnya, sekarang ana tanya adakah da’wah antum akan hal
itu? Bahkan kalian lari sejauh-jauhnya karena menurut pandangan antum
dan ini terlontar dari mulut-mulut anggota JT bahkan dari yang sudah
senior dan bergelar Syaikh bahwa dakwah kepada Tauhid Uluhiyyah akan
memecah belah umat dan membuat umat lari. Apakah begini da’wah para
Nabi?
Jadi
ya, na’am…. apa yang antum sebut itu ada pada da’wah Salafiyyah dan ana
gak lihat adanya hal itu di JT terlebih yang pertama. Sebab da’wah para
Nabi alaihimussalam adalah mengajak untuk mentauhidkan Allah ‘Azza wa jalla dalam ibadah, menasehati dan menyeru manusia agar meninggalkan kesyirikan. Sekali lagi adakah kalian melakukan itu?
[1]Lihat buku SVJT halaman 32 – 39 dan hal 68
Dialog Dengan JT : Siapa Bilang Salafiyyun Tidak “KHURUJ”?
JT : tapi antum gak datangi manusia untuk mengajak mereka kepada Allah.
STI
: siapa bilang, para asatidz salafiyyun keliling negeri bahkan sampai
ke luar negeri untuk berda’wah dan mengajak manusia agar mentauhidkan
Allah dalam ibadah (tauhid uluhiyyah) dan baru-baru ini selesai daurah
di jogja yang dihadiri oleh ulama dari Saudi, Yaman dan Kuwait. Para
Asatidzah keliling Indonesia untuk memenuhi undangan mengisi ta’lim.
Insya-Allah Al Ustadz Dzulqarnain (baca infonya di www.dzulqarnain.net) dalam waktu dekat ini akan mengisi daurah di Tokyo.
jadi na’am, da’wah harus tetap jalan tapi dengan ilmu dan bashiroh
maka serahkanlah kepada ahlinya, adapun kita belajar terlebih dahulu
kemudian berda’wah sesuai keilmuan yang dimiliki sebab kalau semua orang
boleh berda’wah walaupun tanpa ilmu maka sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “jika suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancurannya.
Jadi
berda’wah sesuai kemampuan dan keilmuan. Ilmui dulu sesuatu kemudian
amalkan,kemudian da’wahkan dan bersabarlah di atasnya. Itulah manhaj
para Nabi atau menurut istilah antum amalan anbiya yaitu berilmu,
beramal, berda’wah dan bersabar di atasnya sebagaimana dijelaskan oleh
para ulama ketika menafsirkan surat Al ‘Ash (wal ‘ashri)
Imam Asy-Syafi’i[1]
Rahimahullah Ta’ala, mengatakan :”Seandainya Allah hanya menurunkan
surah ini saja sebagai hujjah buat makhluk-Nya, tanpa hujjah lain,
sungguh telah cukup surat ini sebagai hujjah bagi mereka”.
Dan ilmu yang paling utama dan yang paling penting adalah mengenal Allah Azza wa Jalla, mengenal islam dan mengenal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengenal Allah Azza wa Jalla
bukan berarti hanya meyakini bahwa Dia ada tapi mengilmui cara
beribadah kepada-Nya dengan benar sesuai yang diperintahkan-Nya, yang
artinya harus mengetahui makna Laa Ilaha Illallah –jangan dipotong, akan datang nanti insyaAllah bahwa antum gak ngerti atau salah dalam memahami makna Laa Ilaha Illallah- apa-apa yang membatalkannya, mengenal dan mempelajari nama-nama dan sifat-sifat Allah Azza wa Jalla dengan pemahaman yang benar yaitu pemahaman salafush-shalih, mengenal islam dan kesempurnaannya, mengenal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengikuti sunnah-sunnah beliau, pokoknya mengenal agama ini dan masuk ke dalamnya secara kaffah, secara sempurna.
Di atas manhaj inilah, di atas manhaj ilmu dan bashirah, amal, da’wah dan kesabaran inilah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka (salafiyyun) berjalan.
Apakah menurut antum para sahabat – yang telah kalian hina dengan
mengatakan tidak semua sahabat ‘alim – tidak mengilmui apa-apa yang saya
sebutkan di atas. Cukuplah ucapan kalian di atas bahwa sahabat tidak
semuanya ‘alim menunjukkan jauhnya kalian dari ilmu yang syar’i.
JT
: kami tidak memaksudkan ucapan itu untuk menghina sahabat, kami semua
mengakui keutamaan mereka makanya kami mencoba mengikuti mereka.
STI
: Ana mengerti tapi hendaknya kita berhati-hati dalam menggunakan kata
dan kalimat untuk mengungkapkan sesuatu sebab kesesatan dan kekufuran
itu bisa terjadi hanya dengan kata-kata. Nabi shallallahu ‘alaihi wa salllam bersabda, ”janganlah kalian mencela sahabatku,’ beliau juga bersabda,”jika yang disebut (kesalahan) sahabatku maka tahanlah lidah-lidah kalian.”
Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Muadz bin Jabal, “Semoga
engkau selamat. Adakah yang menjadikan orang menyungkurkan mukanya
(atau ada yang meriwayatkan batang hidungnya) di dalam neraka, selain
ucapan lidah-lidah mereka?”
Abu Hurairah radhiallahu anhu,beliau berkata, “Ia telah mengucapkan suatu kalimat yang membinasakan dunia dan akhiratnya.
[1]
Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Al-’Abbas bin ‘Utsman bin Syafi’i
Al-Hasyim Al-Quraisy Al-Muthallibi (150-204H – 767-820M) Salah seorang
imam Empat. Dilahirkan di Gaza (Palestina) dan meninggal di Cairo.
Diantara karya ilmiyahnya Al-Umm, Ar-Risalah dan Al-Musnad
Dialog Dengan JT : Para Utusan Rasulullah Adalah Orang Yang Berilmu
JT
: kamipun beramal, berda’wah dan kami adalah orang yang sangat sabar
dalam hal itu, kami tinggalkan anak dan istri, kampung halaman untuk
berda’wah, kami rela kedinginan, semua itu untuk satu tujuan yaitu
menda’wahkan agama Allah Azza wa Jalla.
STI : Imam Al-Bukhari1 Rahimahullah Ta’ala, mengatakan :”Bab Ilmu didahulukan sebelum ucapan dan perbuatan”.
Dalilnya firman Allah Ta’ala.
“Maka ketahuilah, sesungguhnya tiada sesembahan (yang Haq) selain Allah dan mohonlah ampunan atas dosamu”. (Muhammad : 19).
Dalam ayat ini, Allah memerintahkan terlebih dahulu untuk berilmu (agama) sebelum ucapan dan perbuatan.
Jadi
kalian kehilangan atau kurang dalam pondasi yakni ilmu, dan bangunan
da’wah kalian itu dibangun di atas pondasi yang rapuh. Agama tidak bisa
dibangun di atas semangat saja tapi harus di atas ilmu.
nah
sekarang kembali ke masalah radio dan internet yang kata kelompoknya
akang bukan sekedar bid’ah tapi Super Bid’ah. Antum dah mengerti tentang
bid’ah dan dah tahu tentang kaidah fiqih yang menyatakan bahwa hukum
asal semua benda adalah halal sampai ada dalil yang mengharamkannya.
Sekarang ana tanya aoakah ada dalil yang mengharammkannya. Dan ana tanya
juga jika seandainya di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa salllam dah ada radio dan internet, apakah menurut antum beliau tidak akan menggunakannya sebagai sarana da’wah.
JT : (diam)
STI : yang berikutnya soal jamah da’wah.
Kemudian sekarang tunjukkan kepadaku dalil bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim jamaah da’wah, yang ada adalah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengirim sahabatnya orang per orang atau sendiri-sendiri, beliau
mengutus Ali sendiri, Ibnu Mas’ud sendiri, Muadz sendiri, dan bahkan
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mushab bin Umair ke Madinah sendiri. Adapun kalau maksud kalian adalah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengutus sekumpulan sahabat untuk berperang maka sangat jauh untuk
menjadikan dalil bagi model da’wah kalian. Tunjukkan padaku satu dalil
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus
sahabatnya secara berjama’ah keliling mesjid sambil bawa kompor dan
selimut dalam keadaan mereka buta akan apa yang mau dida’wahkan.
Sepanjang
yang ana tahu, hanya dua kali beliau mengutus sahabatnya murni untuk
berda’wah, bukan berperang dalam bentuk berkelompok yaitu
Yang Pertama
ke kabilah ‘Udhal dan Qarah atas permintaan mereka, tapi ini berakgir
tragis ketikaa 10 orang yang diutus di bawah pimpinan ‘Ashim bin Tsabit radhiallahu anhu
dikhianati dan 8 orang di bunuh termasuk ‘Ashim bin Tsabit sementara 2
orang lainnya yaitu Khubaib bin ‘Adi dan Zaid bin Ad Datsinah radhiallahu anhuma di tawan dan diserahkan ke kaum quraisy yang kemudian di bunuh oleh mereka.
Yang Kedua yaitu
ketika beliau mengutus 70 orang sahabat dari para penghafal qur’an ke
daerah Najd atas permintaan Abu Bara’ bin Malik tapi kali inipun
berakhir tragis dengan terbunuhnya mereka semua kecuali Ka’b bin Zaid
dan ‘Amr bin Umayyah Adh-Dhamry. Rincian kisah ini bisa antum lihat di
buku SIRAH NABAWIYYAH terbitan Ash Shaff Media halaman 249 – 252. Kalau antum tidak punya nanti ana pinjami lagi
JT : tuh kan ada dalilnya bolehnya berda’wah secara berkelompok
STI
: ntar dulu, orang belum selesai ngomong. Disini pun tidak ada dalil
bagi kalian, karena yang diutus oleh mereka adalah para qurrah yang ahli
qur’an bukan sembarang orang yang baru masuk islam atau baru kemarin
berhenti dari preman pasar. Disana juga tidak ada ketentuan bahwa harus
sekian hari, dan mereka diutus untuk mengajarkan agama secara menyeluruh
bukan sekedar mengajarkan dan mengajak orang shalat, bahkan yang paling
pertama mereka diperintahkan adalah untuk menyeru manusia untuk
mentauhidkan Allah dalam ibadah. Dan ternyata mereka pun menghadapi
pengkhianatan dan siksaan sementara kalian keluar masuk kampung gak di
apa-apain maka sungguh jauh bila mau dibandingkan.
Jadi
dari kisah di atas dan ditambah kisah pengutusan Muadz bin Jabal ke
Yaman ditarik kesimpulan seorang da’i dalam berda’wah itu harus memiliki
beberapa kriteria yaitu :
-
Berilmu akan apa yang harus dida’wahkannya
-
Memulai dari yang paling utama kepada yang utama berikutnya yaitu memulai dengaan da’wah kepada mentauhidkan Allah ‘Azza wa Jalla dalam ibadah.
Adakah kriteria di atas pada manhaj da’wah JT, tentang hal ini akan di ulas lebih lanjut nanti?
JT : (Hening berpikir)
-------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------
[1]
Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah Al-
Bukhari (194-256H – 810-870M) Seorang Ulama ahli Hadits. Untuk
mengumpulkan hadits ia telah menempuh perjalanan yang panjang,
mengunjungi Khurasan, Irak, Mesir dan Syam. Kitab-kitab yang disusunnya
antara lain Al-Jaami Ash-Shahih (yang lebih dikenal dengan Shahih
Bukhari), At-Taarikh, Adh-Dhu’afaa, Khalq Af’aal al-Ibaad. 3.Al-Bukhari
dalam Shahih-nya, kitab Al-’ilm, bab.10
--------------------------------------------
http://aboeshafiyyah.wordpress.com/
--------------------------------------------
http://aboeshafiyyah.wordpress.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar