Adapun perkataannya yang saya siratkan tadi yaitu, tak ada yang seperti antum duduk di majlis kajian kemudian merasa Imannya sudah betul…Ajib !!.
ini
adalah tuduhan yang sangan dusta dan tanpa bukti, di halaman lain yakni
hal 69 – 70 ia menuduh Salafiyyun sudah merasa beres aqidahnya dan
merasa aman dari sifat munafik.
Wahai penulis ingatlah firman Allah Azza wa Jalla, “katakanlah datangkanlah bukti jika kalian memang benar.”
Mana
bukti bahwa salafiyyun sudah merasa benar imannya dan merasa aman dari
sifat munafik. Salafiyyun hanya meyakini bahwa apa yang diyakininya itu
adalah sesuatu yang benar adapun orangnya sendiri maka salafiyyun adalah
orang yang paling mengkhawatirkan diri-diri mereka akan terjatuh ke
dalam kebinasaan dan kemunafikan karena mereka paham betul makna firman
Allah Azza wa Jalla, “Apakah mereka merasa aman dari makar Allah, tidaklah orang yang merasa aman dari makar Allah kecuali orang yang merugi.”
Apakah
menurut kalian jika Salafiyyun telah merasa aman dari kemunafikan dan
kesyirikan maka mereka akan terus mengkaji ilmu tentang aqidah yang
benar. Tapi kenyataannya, karena ketakutan mereka akan terjatuh ke dalam
penyimpangan besar berupa bid’ah, kemunafikan dan kesyrikian maka para
salafiyyun tak henti-hentinya mengkaji kitab-kitab Aqidah yang ditulis
oleh para ulama. Mereka berpindah dari satu kitab ke kitab yang lain
padahal pembahasannya mirip-mirip bahkan terkadang beberapa kitab
diulang-ulang berapa kali untuk lebih memantapkan faidah. Mereka
berpindah dari kitab Ushul Ats Tsalatsah ke Kitab Tauhid Ibnu Abdul Wahhab At Tamimi, Dari Kasyfu Syubuhat Muhmmad At Tamimi An Najdi Ke Kitab At-Tauhid Al Imam Ibnu Khuzaimah, dari Ushulus Sunnah Imam Ahmad ke Al
Iqtishad fil I’tiqad Al Hafizh Abdul Ghani Al Maghdisi, dari
Syarhus-Sunnah Al barbahari ke Syarhus-Sunnah Al Imam Al Muzani, dan
lain-lain dari kitab para ulama. Maka sekarang pertanyaannya, siapakah
yang merasa benar keimanannya dan merasa aman dari kemunafikan, apakah
orang yang terus menerus mengkaji tentang aqidah tauhid ataukah
orang-orang yang mendengar kitabnya saja tidak, apalagi membaca dan
mengkajinya yang bahkan mereka hanya bergelut dengan kitab yang penuh
dengan hadits lemah bahkan palsu dan juga bid’ah dan khurafat ?
Mereka
(para Salafiyyun) juga senantiasa mengkaji ilmu-ilmu fiqih dari
hadits-hadits yang shahih sehingga mereka senantiasa menyembah dan
beribadah kepada Allah dengan cara yang dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berpindah dari satu kitab fiqih ke kitab fiqih yang lain, mereka berpindah dari Umdatul Ahkam ke Bulughul Maram, dari Al Mughni Ibnu Qudamah ke Munakhlah An Nuniyyah, dari Al Umm Imam Syafi’i ke Al Majmu Imam Nawawi, dan lain-lain dari kitab para ulama. Maka pertanyaannya sekarang siapakah
yang merasa takut terjatuh ke dalam penyimpangan beribadah kepada Allah
dengan cara yang tidak disyariatkan (bid’ah) apakah orang yang
menghabiskan waktunya untuk belajar mengkaji ilmu agama ataukah orang
(JT) yang sibuk teriak-teriak ayo shalat tapi ternyata gak tahu kalau
yang namanya duduk iq’a itu terlarang dan atau menggulung lengan baju
dalam shalat juga terlarang?
Mereka
juga senantiasa mengamalkan ilmu yang dimilikinya dan menda’wahkannya
ke setiap orang yang mungkin dia da’wahi, mulai dari keluarganya, istri
dan anak-anaknya, mengajarkan mereka aqidah yang benar, cara beribadah
yang sesuai tuntunan Al Qur’an dan Sunnah. Maka pertanyaannya sekarang, siapakah
yang lebih benar cara da’wahnya, orang yang membaca Al Qur’an dan
Hadits dan kitab para ulama yang menjelaskannya kemudian mengajarkan
kepada keluarga dan orang-orang disekitarnya bahwa yang namanya jimat
itu syirik, yang namanya berdoa di kuburan itu adalah wasilah kesyirikan
ataukah mereka (JT) yang wara-wiri keliling mesjid bawa kompor dan
selimut tapi meninggalkan keluarga, tetangga dan orang disekitarnyanya
berkubang kesyririkan bahkan banyak di antara mereka (JT) sendiri masih
mengenakan jimat-jimat.
Siapakah
yang lebih benar da’wahnya, orang yang datang ke majelis ilmu kemudian
pulang kepada keluarganya dan mengajarkannya tentang tata cara mandi
junub yang benar, hukum seputar haid dan nifas ataukah orang yang
keliling dunia bawa piring dan panci tapi meninggalkan istrinya dalam
keadaan tidak tahu membedakan antara haidh, nifas dan istihadhah, bahkan
pengertian istihadhahpun istrinya tidak tahu. Bukankah Allah berfirman,
jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka dan Dia juga berfirman kepada Nabinya, Dan berilah peringatan kepada kerabatmu yang terdekat.
Jawablah dengan jujur!!! Sekali lagi
Dialog Dengan JT : Antara Iman, Tauhid dan Aqidah.
Pada halaman 21 penulis berkata, Nabi
13 tahun bina iman sahabat. … di Qur’an hanya di kenal IMAN, AMAL
SHOLEH. Tidak dikenal istilah Aqidah, Rububiyyah, Uluhiyyah. Itu semua
bukan hakekat iman, itu semua Ilmu Iman, atau kasarnya teory iman.
Kata
siapa dalam Al Qur’an tidak ada istilah Aqidah, Rububiyah dan Uluhiyah.
Tapi kenapa antum kemudian berhujjah dengan ayat Al Qur’an, Alastu Birabbikum yang dengannya antum menetapkan rububiyahnya Allah Azza wa Jalla.
Apa ini bukan namanya tabrak kanan tabrak kiri, hari ini bilang iya
besok bilang tidak. Walah… gawat kalau da’i islam begini semua, tapi
Alhamdulillah untungnya Salafiyyun tidak begitu. Sekarang mana yang
benar pernyataan antum di hal 21 atau tulisan antum di halaman 26 yang
menetapkan istilah rububiyah dengan dalil di atas.
Nah, kalau antum sudah menetapkan tentang Rububiyyah Allah Azza wa Jalla dengan ayat Alastu Birabbikum. Maka apa yang makna kata Ilah yang ditarik dari firman Allah Azza wa Jalla,
Allah, tidak ada Ilah yang berhak disembah kecuali Dia.
Bukankah itu maknanya Al Uluhiyyah, kalau antum bilang bukan maka jelaskan apa maknanya?
Adapun Aqidah maka itu adalah penamaan lain dari iman dan keyakinan dan semua ulama telah sepakat akan penggunaannya.
Kemudian siapa bilang Nabi shallallahu alaihi wa sallam bina imannya sahabat Cuma 13 tahun. Maka ketahuilah wahai jahil dari awal da’wah beliau shallallahu alaihi wa sallam sampai meninggalnya beliau shallallahu alaihi wa sallam yang beliau shallallahu alaihi wa sallam serukan adalah tauhid dan salah satu sabda terakhir beliau shallallahu alaihi wa sallam adalah, janganlah kalian menjadika kuburannku sebagai I’ed (sesuatu yang sering didatangi). Apakah maksud beliau shallallahu alaihi wa sallam di atas bukan dalam perkara aqidah karena takutnya beliau shallallahu alaihi wa sallam kuburannya akan dijadikan wasilah kesyirikan.
Pada halaman 23 penulis berkata, BUKAN DUDUK dI Majelis Ta’lim seperti salafy sekarang yang mengaku pengikut salaf..ini salaf yang mana…?
Pernyataan dengan ungkapan senada juga ditulis di halaman 25, ‘tak ada yang seperti antum duduk di majlis kajian kemudian merasa Imannya sudah betul…Ajib !!.
Maksudnya
adalah para sahabat tidaklah duduk di majelis ta’lim untuk mengkaji
ilmu tapi mereka mendapatkan iman itu karena telah melewati cobaan,
siksaan dan ujian.
Kata siapa wahai karkun bahwa mereka (para sahabat) tidak duduk di majelis, bahkan mereka berkerumun di majelisnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menuntut ilmu yang baru kemudian mereka sampaikan kepada keluarganya. Bahkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga
menyiapkan waktu khusus untuk mengajari para wanita, apakah itu bukan
majelis ta’lim wahai jahil. Apakah pertemuan di rumah Al Arqam bin Abil
Arqam itu bukan majelis ta’lim namanya. Dan antum pun tahu hadits
tentang keutamaan majelis dzikir yang para ulama sepakat bahwa yang
dimaskud majelis dzikir dalam hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam itu
adalah majelis ilmu di mana Al Qur’an dan As Sunnah di bacakan, bukan
acara dzikir berjama’ah sebagaimana yang dilakukan oleh teman-teman
kalian penganut bid’ah shufiyyah. Tapi seperti perkataan ulama bahwa
kaum sufi dulu karena malas menghapal dan belajar hadits maka mereka
membuat-buat hadits palsu, maka para sufi jaman sekarang (JT) karena
malas belajar maka mereka berdalil dengan hadits-hadits palsu tadi atau
dengan hadits shahih bahkan dengan al qur’an tapi ditafsirkan semaunya.
Lantas kalau menurut karkun, para sahabat mendapatkan ilmu dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bukan dengan cara duduk di majelis lantas dengan cara apa. Ataukah
bagaimana menurutmu cara Mujahid, Atha, Ikrimah dan yang lainnya
mendapatkan ilmu tentang agama, lewat mimpi[1]
ataukah mereka berkerumun di majelisnya Ibnu Abbas dan sahabat lainnya.
Bahkan Mujahid bermulazamah atau bermajelis dengan Ibnu Abbas selama
puluhan tahun. Adapun cobaan dan siksaan yang mereka hadapi adalah untuk
memperkokoh keimanan mereka yang memangsudah dilandasi dengan ilmu
hasil bermajelis dengan Rasulullah.
Klo masih belum cukup,simak baik-baik:
Al Imam Asy Syafi’i berkata :, “Aku membacakan (mengajar) kepada manusia, ketika itu aku berusia 13 tahun[2].
Ahmad bin An-Nadhar Al Hilali berkata, “Aku mendengar bapakku berkata, ‘Dahulu aku berada di Majelis Sufyan ibnu Uyainah[3]
Dan
banyak lagi atsar-atsar dari para salaf tentang duduknya mereka di
Majelis ‘Ilmu, yang kalau antum mau tahu lebih banyak maka bacalah kitab
As Siyar A’lami Nubala dan/atau Tadzkiratul Huffazh karya Al Imam Adz Dzahabi
Sekarang pertanyaannya buat antum, Siapa
Salaf JT dalam bentuk berda’wah, siapa dari kalangan para
Salafush-shalih yang keliling mesjid bermodalkan kompor, selimut dan
panci serta kitab yang dipenuhi hadits lemah bahkan palsu dan
kisah-kisah yang mungkar?
Sudahlah,
akui saja kalau antum malas belajar, kalau antum menyangkal sekarang
antum datang dan ikuti kajian yang diadakan oleh salafiyyin yang
mengkaji kitab-kitab karya para ulama besar dan setelah itu antum semua
belum terlambat kalau mau keluar berda’wah di jalan Allah. Atau mungkin
antum akan berkata lagi, ah, itu hanya buang-buang waktu, lebih baik
pergi menda’wahkan yang ditahu, ya akhi.. apa yang antum mau da’wahkan
sementara cara wudhunya antum saja masih salah dan tidak sesuai sunnah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang antum hendak
da’wahkan sementara cara duduk dalam shalat saja masih belum benar. Atau
mungkin antum antum mengatakan entar di cuci otaknya, kalau memang
kotor ya mesti di cuci dengan Al Qur’an dan Sunnah tapi kalau kalian
tidak merasa kotor ya nggak usah merasa takut dicuci. Dan itulah yang
bahaya karena pada dasarnya kalian merasa benar sendiri bukan salafiyyin
karena kalian enggan di kritik, semua kritikan berdalil Qur’an dan
Sunnah mentah di hadapan kepala batunya JT. Adapun salafiyyin silahkan
kalau mau mengkritik yang penting berdalil dengan Qur’an dan Sunnah yang
shahih berdasarkan pemahaman salafush-shalih bukan berdasarkan
pemahaman Maulana Jamil, maulana Zakariya, Maulana ini atau Maulana itu,
jangan pakai perasaan dan akal-akalan.
[1]Seperti yang dilakukan oleh big-boss, Mudir dan Founding Fathernya
jama’ah Tabligh, Muahmmad Ilyas yang mendapatkan penafsiran ayat 110
dari surat Al Imran melalui mimpi, sebagimana dalam Malfuzhat Ilyas tulisan Muhammad Manshur An Nu’mani dari perkataan Muhammad Ilyas sendiri.
[2]As Siyar 10/54
[3]Al Kifaya fi ‘Ilmi Ar Riwayah (hal 112), As Siyar 8/404
Al Imam Syafi’I dan Al Imam Ibnu Uyainah adalah dari generasi Atba’ut Tabi’in dari generasi Salaf.
Jawablah dengan jujur!!! Sekali lagi
http://aboeshafiyyah.wordpress.com
Al Imam Syafi’I dan Al Imam Ibnu Uyainah adalah dari generasi Atba’ut Tabi’in dari generasi Salaf.
Jawablah dengan jujur!!! Sekali lagi
kokohkan dulu singgasanamu kemudian ukirlah baik-baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar