Senin, 10 Juni 2013

Dialog Dengan JT Bag 2 : Mereka Mencela Sahabat

Dialog Dengan JT : Mereka Mencela Sahabat

MEREKA MENCELA SAHABAT

 Penulis mengatakan di hal 7 : kajian salafy juga kalau dicari dalilnya gak ada, misalnya ngaji kitab aqidah dsb sebab di zaman sahabat tak ada kitab tetapi itulah metode, bukan tujuan. Maka kalau orang salafy mengatakan orang punya ilmu harus belajar lewat salafy itupun bid’ah juga, sebab sudah jadikan kajian sebagai agama.

Bantahan :
Adapun penggalan pertama dari ucapan di atas sudah terbantah, dan penggalan keduanya yaitu , Maka kalau orang salafy mengatakan orang punya ilmu harus belajar lewat salafy itupun bid’ah juga, sebab sudah jadikan kajian sebagai agama.
Maka saya punya tiga pertanyaan mengenai penggalan di atas
1. Apa itu Bid’ah
2. Apa itu salaf dan salafy
3. Benarkah kajian itu adalah bid’ah
4. Jadi menurut antum mengaji atau mempelajari ilmu agama itu bukan bagian dari agama? Lantas kemana sabda Rasulullah yang memerintahkan bahkan menghasung umatnya untuk menuntut ilmu?
Perkataan penulis : sebab sudah jadikan kajian sebagai agama” artinya bahwa mengkaji ilmu agama itu bukan bagian dari agama. Menakjubkan
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :”menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim,”
Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam  juga bersabda : “tidaklah berkumpul suatu kaum di sebuah rumah dari rumah-rumah Allah, di mana mereka membaca kitab Allah dan saling mempelajarinya[1] di antara mereka kecuali diturunkan ke atas mereka ketenangan….”
Majelis-majelis Ilmu telah dikenal dikalangan para salaf, para sahabat memiliki murid-murid yang banyak yang berkumpul di majelis-majelis mereka untuk menuntut dan mengkaji ilmu agama. Terus ke generasi Tabi’in dan seterusnya. Maka sangat mengherankan ketika dikatakan kajian itu adalah bid’ah sebagaimana yang dipahami dari perkataan penulis di atas. Sangat mengherankan.
Jadi kalau ada yang mengatakan bahwa ilmu itu harus dituntut melalui jalan salaf maka itu adalah 100 persen benar. Sebab orang yang menyimpang dari manhaj salaf berarti dia berada di atas jalan kesesatan.
Allah Ta’ala berfirman :
šوَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِ‌ينَ وَالْأَنصَارِ‌ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّ‌ضِيَ اللَّـهُ عَنْهُمْ وَرَ‌ضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِ‌ي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ‌ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Artinya : Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.
Dia Yang Maha Agung juga berfirman :
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّ‌سُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ‌ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرً‌ا
Artinya : Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang Telah dikuasainya itu[2] dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Umatku akan terpecah-belah menjadi 73 golongan, semuanya masuk ke dalam neraka kecuali satu golongan.” Beliau ditanya : “Siapa wahai Rasulullah?” Beliau menjawab : “(Golongan) yang berada di atar apa yang aku dan para shahabatku berada (di atasnya).” (HR. At Tirmidzi dari Abdullah bin Amr bin Al Ash)
Umar bin Abdul Aziz dalam risalahnya untuk salah seorang aparatnya mengatakan :
Dari Umar bin Abdul Aziz Amirul Mukminin kepada Ady bin Arthaah :
Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang tidak ada sesembahan yang haq kecuali Dia.
Kemudian daripada itu :
Saya wasiatkan kepadamu, bertaqwalah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan sederhanalah dalam (menjalankan) perintah-Nya dan ikutilah sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan tinggalkanlah apa yang diada-adakan ahli bid’ah terhadap sunnah yang telah berlalu dan tidak mendukungnya, tetaplah kamu berpegang dengan sunnah karena sesungguhnya ia telah diajarkan oleh orang yang tahu bahwa perkara yang menyelisihinya adalah kesalahan atau kekeliruan, kebodohan, dan keterlaluan (ghuluw). Maka ridlailah untuk dirimu apa yang diridlai oleh kaum itu (shahabat) untuk diri mereka sebab mereka sesungguhnya berhenti dengan ilmu dan menahan diri dengan bashirah yang tajam dan mereka dalam menyingkap hakikat segala perkara lebih kuat (mampu) apabila di dalamnya ada balasan yang baik. Jika kamu mengucapkan bahwa ada suatu perkara yang terjadi sesudah mereka maka ketahuilah tidak ada yang mengada-adakan sesuatu sesudah mereka melainkan orang-orang yang mengikuti sunnah yang bukan sunnah mereka (shahabat) dan menganggap dirinya tidak membutuhkan mereka. Padahal para shahabat itu adalah pendahulu bagi mereka. Mereka telah berbicara mengenai agama ini dengan apa yang mencukupi dan mereka telah jelaskan segala sesuatunya dengan penjelasan yang menyembuhkan, maka siapa yang lebih rendah dari itu berarti kurang dan sebaliknya siapa yang melampaui mereka berarti memberatkan. Maka sebagian manusia ada yang telah mengurangi hingga mereka kaku sedangkan para shahabat itu berada di antara keduanya yaitu di atas jalan petunjuk yang lurus.” (Asy Syari’ah 212)
Jadi kalau ada yang membenci salafy yang benar-benar berjalan dan istiqamah di atas manhaj salaf maka yakinlah bahwa dia berada di atas kesesatan sebab dia membenci orang yang senantiasa mencoba mengikuti para salafush-shalih dari kalangan para sahabat, tabi’in dan atba’ut tabi’in. Dan kalau ada yang mencela manhaj salaf dengan mengatakan, manhaj salaf terlalu keras, kaku, gak tahu aturan dan lain-lain yang berarti dia mencela ajaran Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para sahabatnya dan memang penulis dalam bukunya sangat lancang karena –mudah-mudahan tanpa sadar – telah mencela sahabat. Mungkin pembaca berkata, “Ah masa penulis begitu lancangnya mencela sahabat. ini buktinya :
Di halaman 24 penulis berkata : Sehingga semua sahabat adalah da’i mereka tak semua ‘Alim, tak semua hafidz tetapi mereka semua dari mereka adalah dai.
Ini adalah celaan dan tikaman tak kenal ampun terhadap keutamaan dan keilmuan sahabat dengan mengatakan tidak semua mereka alim tapi mereka adalah da’i. Apakah menurut antum para sahabat akan seperti kalian para karkun berbicara tentang agama Allah Azza wa Jalla tanpa dilandasi dasar ilmu. Telah menjadi kesepakatan kaum muslimin –kecuali JT tentunya- bahwa para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang alim meskipun mereka berjenjang-jenjang dalam keilmuannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang mencela mereka dalam sabdanya,
Rasulullah bersabda ,”janganlah kalian mencela sahabatku,’ beliau juga bersabda,”jika yang disebut (kesalahan) sahabatku maka tahanlah lidah-lidah kalian.”
Tapi bagi JT tak jadi masalah yang penting bisa jadi dalil akan kesesatan mereka mencela sahabatpun tak jadi masalah. Dan cukuplah satu hal ini sebenarnya menjadi cacat dan aib serta kesesatan JT. Mereka membaca kitab Hayatus Sahabah tapi ternyata tidak memberi manfaat.
Taruhlah perkataan Penulis bisa diterima –meskipun sudah dijelaskan bahwa ini adalah celaan yang hebat terhadap keutamaan para sahabat yang kaum muslimin apalagi ulamanya berlepas darinya -  tapi pertanyaannya kemudian apakah para sahabat akan menda’wahkan apa-apa yang tidak mereka pahami ataukah mereka hanya menyampaikan hadits sebatas yang mereka tahu dan yakini keshahihannya dan mereka pahami makna dan pelaksanaannya?
Kalau menjawab Yang Pertama,  maka penulis dan yang bersamanya terjatuh ke dalam kesalahan yang lebih besar karena menuduh sahabat menyampaikan apa yang tidak mereka ilmui atau membuat-buat kedustaan atas nama Nabi.
Kalau menjawab Yang Kedua  bahwa para sahabat hanya menda’wahkan sebatas yang mereka tahu dan yakini keshahihannya dan mereka pahami makna dan pelaksanaannya, maka penulis telah jatuh karena ternyata JT telah menda’wahkan sesuatu yang tidak mereka ilmui – dan perkara ini telah banyak diakui oleh mereka sendiri – , mereka menda’wahkan shalat tapi gak tahu cara shalat yang benar, hal-hal yang dilarang dan dimakruhkan dalam shalat[3], ini buah dari alerginya mereka mempelajari fiqih. Mereka menda’wahkan bahkan menjadikan laa ilaha illallah sebagai ushul pertama mereka tapi ternyata tidak tahu maknanya. insyaAllah akan datang penjelasan sekaligus bukti akan hal ini. Mereka katanya berda’wah seperti Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tapi justru menyempal dari manhaj da’wah para Nabi[4].
Inilah Abu Musa Al Asy’ari radhiallahu ‘anhu ketika dia menjumpai sesuatu yang menyelisi sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam beliau tidak langsung menegur –padahal beliau faham betul kalau itu adalah kesalahan- tapi beliau menyampaikannya kepada sahabat yang lain yang lebih berilmu yakni ‘Abdullah ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu.
Al Imam Al Bukhary rahimahullah berkata :
Bab Ilmu Sebelum Perkataan dan Perbuatan


[1] Tilawah dan tadarus bukan berarti sekedar membaca akan tetapi lebih luas maknanya yakni membaca, mentadabburi (MENGKAJI) makna-maknanya dan kemudian mengamalkannya.
[2] Allah biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan.

[3] Hal ini bagi yang  mempelajari Fiqih Shalat maka mereka akan mengetahui kesalahan-kesalahan sebagian Karkun ketika menegakkan ibadah shalat, ada yang menggulung lengan bajunya, ada yang melingkarkan kain membelit bahunya, ada yang kalau rukuk bukannya pegang tumit tapi pegang betis. Kesalahan-kesalahan tersebut sudah sering ana lihat sendiri.
[4] insyaAllah akan datang juga penjelasannya
http://aboeshafiyyah.wordpress.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar