Menjawab Subhat Penulis Buku Quo Vadis Salafy (2)
Makar Bang Lubis (Pengedit QVS) tidak hanya sampai disitu dengan
menuduh salafiyyun sebagai pengacau dan penyebab kontroversi diantara
kaum beriman, bahkah ia melangkah jauh dalam menyamakan salafiyyun
dengan Iblis[1]. Dimana letak kesamaannya?! Nah dengarkan Bang Lubis berkata,
“Jadi bukan pengakuan atau klaim dengan menyebut diri atau kelompok salafy, sebab nanti akan ada tuduhan atau stigma bahwa kelompok lain atau individu lain adalah bukan salafy.
Inilah keangkuhan intelektual yang sangat dibenci Allah. Karena mirip-mirip dengan gaya bahasa Iblis ketika menolak diperintah sujud kepada Adam :
Ana khoirun minhu, kholaqtanii minnaari wa kholaqtahu minthiin
“Aku lebih baik dari dia (Adam a.s.), Engkau jadikan aku dari api dan (sedangkan dia Adam) Engkau ciptakan dari tanah”. [Lihat QVS (hal. 27-28)]
Ucapan kasar dari Bang Lubis ini bisa ditanggapi dari beberapa sisi:
1. Menyebut diri sebagai salafy adalah perkara yang masyru’ (disyari’atkan) sebagaimana halnya seorang disyari’atkan untuk menyatakan diri sebagai muslim, sebab kata salafy artinya adalah muslim hakiki yang mengikuti para salafush shalih.[2]
2. Menyatakan diri sebagai salafy –jika
memang benar di atas manhaj salaf- bukanlah perkara yang tercela,
apalagi dianggap mirip dengan gaya bahasa Iblis. Iblis ketika mengaku
lebih baik dari Adam, ia bangun ucapannya di atas persangkaan yang salah
dan batil; di atas qiyas (analogi) yang batil. Adapun Ahlus Sunnah dan alias salafy
saat menyatakan diri di atas kebenaran, maka memang peryantaan mereka
sesuai dengan realita. Aqidah, ibadah, dan akhlaq mereka terbangun di
atas minhaj nubuwwah. Oleh karena itu, tak ada sebuah kelompok
pun yang mampu mendatangkan penyimpangan Ahlus Sunnah alias Salafy dalam
perkara aqidah, ibadah, dan akhlaq. Hanya saja, pernyataan seperti ini
membuat Jama’ah Tabligh berang sehingga tak mau mengakui hal itu. Tapi
biarkan mereka demikian; yang jelas kita beragama bukan karena mencari
perhatian di hadapan mereka. Tapi kita tampakkan keberagamaan kita di
hadapan Allah -Azza wa Jalla-.
Ini merupakan keikhlasan yang diperintahkan Allah dalam firman-Nya,
“Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus,
dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang
demikian itulah agama yang lurus”. (QS. Al-Bayyinah : 5)
Perlu Pembaca ketahui bahwa bagaimanapun keshalihan anda, anda tak akan dianggap oleh Jama’ah Tabligh sebagai orang yang baik dan shalih, sampai kalian mau mengikuti program khuruj
mereka yang bid’ah dan menyalahi Sunnah. Ini rahasia yang perlu kami
jelaskan agar para Pembaca mengetahui sebab kebencian Jama’ah Tabligh
kepada orang lain di luar kelompoknya –khususnya Salafiyyun-. Jadi,
bagaimanapun baiknya agama anda, tapi anda tak khuruj dan tasykil
bersama mereka, maka anda tak ada nilainya di hadapan mereka, anda
termasuk orang yang sesat dan bingung, perlu dituntun ke “jalan yang
benar”.
3. Seorang yang menyatakan dirinya sebagai salafy,
bukanlah merupakan keangkuhan intelektual, dan bukan pula penyucian
diri yang tercela. Bahkan hal itu merupakan konsekuensi aqidah salaf,
yakni seorang menyatakan dirinya salafy alias Ahlus Sunnah. Oleh
karena itu, para imam dan ulama dari zaman ke zaman telah menyatakan
diri mereka sebagai Ahlus Sunnah. Jika ada disana ada Ahlus Sunnah,
maka otomatis disana ada ahli bid’ah. Jika disana terdapat muslim,
pasti disana juga terdapat kafir. Nah apakah orang yang menyatakan
dirinya sebagai Ahlus Sunnah atau muslim adalah tercela?
Tentunya tidak tercela!! Nah apa bedanya antara pengakuan sebagai Ahlus
Sunnah dengan pengakuan sebagai Salafy??! Jelas tak ada bedanya!!! Apalaa ta’qiluun.
4. Analogi (qiyas) yang dibuat oleh
Bang Lubis adalah analogi batil, seperti analogi yang dilakukan oleh
Iblis; yakni adalah analogi yang batil!! Jelas batil karena akan
meniadakan perbedaan antara Ahlus Sunnah dengan ahli bid’ah.
- Sebuah Contoh Kebingungan Bang Lubis
Seperti lazimnya Jama’ah Tabligh, Bang Lubis (Pengedit QVS) termasuk orang-orang yang bingung dalam membedakan bid’ah dengan sunnah. Bahkan kami khawatirkan Pengedit dan Penulis QVS termasuk pengusung dan pejuang bid’ah hasanah[3] yang menganggap semua bid’ah adalah sunnah. Di sisi para pejuang bid’ah hasanah, tak kata bid’ah, semuanya boleh.[4] Jelas ini menyelisihi dalil yang terdapat di dalam hadits-hadits.
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Semua bid’ah adalah kesesatan”.[HR. Muslim dalam Kitab Al-Jum'ah (no. 867)]
Diantara bid’ah yang dianggap baik oleh Bang Lubis Dzikir Jama’ah dan khuruj ala JT. Dengarkan ia berkata,
“Begitu juga, mereka marah-marah kepada ahli dzikir[5], mereka sebut bid’ah, gak ada dalilnya. Orang-orang yang keluar di jalan Allah mendakwahkan agama dan berniat memperbaiki diri juga mereka bilang sesat, tak ada dalilnya. Tanpa mau melihat dan terjun langsung untuk mengambil pengetahuan tentangnya. Akhirnya mereka sibuk membicarakan , membahas, dan menseminarkan aib-aib orang , namun mereka tak pernah memberi contoh tentang kebaikan-kebaikan yang sesungguhnya. Bukankah dakwah Rasulullah saw hanya sedikit yang verbal, kalau boleh dikatakan tak ada”. [Lihat QVS (hal. 29)]
Ucapan Bang Lubis, sang Pengedit, perlu kita cermati dan koreksi agar ia berpikir ketika menorehkan tintanya di atas kertas:
1. Salafiyyun marah kepada orang-orang yang
berdzikir secara berjama’ah, karena perbuatan itu tak ada tuntunannya
alias bid’ah. Mereka marah karena Allah -Azza wa Jalla-, bukan marah karena melihat orang yang berdzikir, tapi marah karena melihat caranya yang salah, tak ada contohnya!!
2. Salafiyyun hari ini bukanlah orang-orang yang
pertama kali menyatakan bid’ahnya dzikir jama’ah. Bahkan yang
menyatakan hal itu adalah para sahabat Nabi -Shallallahu alaihi wa
sallam-.
Hal ini juga tampak dari kisah Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu- yang masyhur bersama para pelaku dzikir jama’ah, ketika beliau mengingkari mereka di salah satu masjid Kufah.
‘Amer bin Salamah bin Al-Harits -rahimahullah- bercerita,
كُنَّا نَجْلِسُ عَلَى بَابِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَبْلَ
صَلَاةِ الْغَدَاةِ فَإِذَا خَرَجَ مَشَيْنَا مَعَهُ إِلَى الْمَسْجِدِ
فَجَاءَنَا أَبُو مُوسَى الْأَشْعَرِيُّ فَقَالَ أَخَرَجَ إِلَيْكُمْ
أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ بَعْدُ قُلْنَا لَا فَجَلَسَ مَعَنَا حَتَّى
خَرَجَ فَلَمَّا خَرَجَ قُمْنَا إِلَيْهِ جَمِيعًا فَقَالَ لَهُ أَبُو
مُوسَى يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِنِّي رَأَيْتُ فِي الْمَسْجِدِ
آنِفًا أَمْرًا أَنْكَرْتُهُ وَلَمْ أَرَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ إِلَّا
خَيْرًا قَالَ فَمَا هُوَ فَقَالَ إِنْ عِشْتَ فَسَتَرَاهُ قَالَ رَأَيْتُ
فِي الْمَسْجِدِ قَوْمًا حِلَقًا جُلُوسًا يَنْتَظِرُونَ الصَّلَاةَ فِي
كُلِّ حَلْقَةٍ رَجُلٌ وَفِي أَيْدِيهِمْ حَصًى فَيَقُولُ كَبِّرُوا
مِائَةً فَيُكَبِّرُونَ مِائَةً فَيَقُولُ هَلِّلُوا مِائَةً
فَيُهَلِّلُونَ مِائَةً وَيَقُولُ سَبِّحُوا مِائَةً فَيُسَبِّحُونَ
مِائَةً قَالَ فَمَاذَا قُلْتَ لَهُمْ قَالَ مَا قُلْتُ لَهُمْ شَيْئًا
انْتِظَارَ رَأْيِكَ وَانْتِظَارَ أَمْرِكَ قَالَ أَفَلَا أَمَرْتَهُمْ
أَنْ يَعُدُّوا سَيِّئَاتِهِمْ وَضَمِنْتَ لَهُمْ أَنْ لَا يَضِيعَ مِنْ
حَسَنَاتِهِمْ ثُمَّ مَضَى وَمَضَيْنَا مَعَهُ حَتَّى أَتَى حَلْقَةً مِنْ
تِلْكَ الْحِلَقِ فَوَقَفَ عَلَيْهِمْ فَقَالَ مَا هَذَا الَّذِي
أَرَاكُمْ تَصْنَعُونَ قَالُوا يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ حَصًى
نَعُدُّ بِهِ التَّكْبِيرَ وَالتَّهْلِيلَ وَالتَّسْبِيحَ قَالَ فَعُدُّوا
سَيِّئَاتِكُمْ فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لَا يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ
شَيْءٌ وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ
هَؤُلَاءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مُتَوَافِرُونَ وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِيَ أَهْدَى مِنْ
مِلَّةِ مُحَمَّدٍ أَوْ مُفْتَتِحُو بَابِ ضَلَالَةٍ قَالُوا وَاللَّهِ
يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلَّا الْخَيْرَ قَالَ
وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَنَا أَنَّ قَوْمًا يَقْرَءُونَ
الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ وَايْمُ اللَّهِ مَا أَدْرِي
لَعَلَّ أَكْثَرَهُمْ مِنْكُمْ ثُمَّ تَوَلَّى عَنْهُمْ فَقَالَ عَمْرُو
بْنُ سَلَمَةَ رَأَيْنَا عَامَّةَ أُولَئِكَ الْحِلَقِ يُطَاعِنُونَا
يَوْمَ النَّهْرَوَانِ مَعَ الْخَوَارِجِ
“Kami pernah duduk-duduk di depan pintu rumah ‘Abdullah bin Mas’ud sebelum sholat Shubuh. Jika beliau keluar, kami akan berjalan bersamanya ke mesjid. Lalu Abu Musa Al-Asy’ary mendatangi kami seraya berkata : “Apakah Abu ‘Abdirrahman[6]sudah
keluar kepada kalian?”Jawab kami : “Belum”. Kemudian diapun duduk
bersama kami sampai beliau keluar. Tatkala beliau keluar, kami semuanya
berdiri menuju kepadanya. Lalu Abu Musa
berkata kepadanya : “Wahai Abu ‘Abdirrahman sesungguhnya baru saja
saya melihat di mesjid suatu perkara yang saya ingkari dan saya tidak
berprasangka –alhamdulillah- kecuali kebaikan”. Beliau berkata : “Apa
perkara itu?” Dia menjawab : “Kalau engkau masih hidup maka engkau akan
melihatnya. Saya melihat di mesjid ada sekelompok orang duduk-duduk
dalam beberapa halaqoh (majelis) sambil menunggu sholat. Di setiap
halaqoh ada seorang lelaki (yang memimpin) -Sementara di tangan mereka
ada batu-batu kecil-. Lalu orang (pimpinan) itu berkata : “Bertakbirlah
kalian sebanyak 100 kali”. Merekapun bertakbir 100 kali. Orang itu
berkata lagi : “Bertahlillah kalian sebanyak 100 kali”, maka merekapun
bertahlil 100 kali, orang itu berkata lagi : “Bertasbihlah kalian
sebanyak 100 kali”, maka merekapun bertasbih 100 kali. Beliau berkata :
“Apa yang engkau katakan kepada mereka?”.Dia (Abu Musa)
menjawab : “Saya tidak mengatakan sesuatu apapun kepada mereka karena
menunggu pendapat dan perintahmu”. Maka beliau berkata : “Tidakkah
engkau perintahkan kepada mereka agar mereka menghitung
kejelekan-kejelekan mereka dan kamu beri jaminan kepada mereka bahwa
kebaikan-kebaikan mereka tidak akan ada yang sia-sia?!”. Kemudian beliau
pergi dan kami pun pergi bersamanya sampai beliau mendatangi satu
halaqoh diantara halaqoh-halaqoh tadi seraya berdiri di depan mereka dan
berkata : “Perbuatan apa ini yang saya melihat kalian melakukannya?!”.
Mereka menjawab : “Wahai Abu ‘Abdirrahman, ini adalah kerikil-kerikil
yang kami (pakai) menghitung takbir, tahlil dan tasbih dengannya”. Maka
beliau berkata : “Hitunglah kejelekan-kejelekan kalian dan saya jamin
kebaikan-kebaikan kalian tidak akan sia-sia. Betapa kasihannya kalian
wahai ummat Muhammad, begitu cepatnya kehancuran kalian. Ini, mereka
para sahabat Nabi kalian -Shollallahu ‘alaihi wasallam- masih banyak
bertebaran. Ini pakaian beliau (Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wasallam-) belum usang. Bejana-bejana beliau belum pecah. Demi Yang
jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya kalian betul-betul berada di
atas suatu agama yang lebih berpetunjuk daripada agama Muhammad atau
kalian sedang membuka pintu kesesatan?!”. Mereka berkata : “Wahai Abu
‘Abdirrahman, demi Allah kami tidak menginginkan kecuali kebaikan”.
Beliaupun berkata : “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan akan tetapi dia tidak mendapatkannya.
Sesungguhnya Rasulullah menceritakan kepada kami tentang suatu kaum,
mereka membaca Al-Qur`an akan tetapi (bacaan mereka) tidak melampaui
tenggorokan mereka. Demi Allah, saya tidak tahu barangkali kebanyakan
mereka adalah dari kalian”. Kemudian beliau meninggalkan mereka. Amr bin
Salamah berkata : “Kami telah melihat kebanyakan orang-orang di
halaqoh itu adalah orang-orang yang menyerang kami bersama Khawarij pada perang Nahrawan”..(HR. Ad-Darimy dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Ash-Shohihah no. 2005)
Perhatikanlah kisah ini baik-baik –semoga Allah merahmatimu-, niscaya engkau akan mendapatkan suatu harta yang lebih berharga daripada dunia dan seisinya. Lihat sahabat Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu- menghukumi
perbuatan mereka sebagai suatu bid’ah dan kesesatan tanpa memandang
sedikitpun kepada jenis amalan yang mereka perbuat dan tidak pula
memandang sedikitpun kepada maksud dan niat mereka melakukannya.[7]
Karena sekali lagi, suatu perbuatan walaupun asalnya adalah ibadah dan
dikerjakan dengan niat yang baik dan penuh keikhlasan, akan tetapi
bila pelaksanaannya tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-, maka semuanya tetap tertolak dan dianggap sebagai suatu kesesatan. Lalu bagamana lagi bila amalan bid’ah itu asalnya bukan ibadah dan tidak dikerjakan dengan keikhlasan?!
3. Kali ini Bang Lubis berusaha melegitimasi khuruj
bid’ah yang dilakukan oleh Jama’ah Tabligh. Demi membantah bid’ah ini,
kami katakan bahwa berdakwah di jalan Allah adalah perkara yang
disyari’atkan oleh Allah dan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-. Namun dakwah yang kita lakukan haruslah dilandasi dengan dua syarat, karena dakwah adalah ibadah. Dua syarat itu adalah ikhlash dan mutaba’ah (mencontoh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-).
Adapun dakwah Jama’ah Tabligh –dalam hal ini khuruj-, maka anggaplah dakwah mereka ikhlash karena Allah, tapi khuruj mereka tidak terpenuhi padanya syarat mutaba’ah (yakni, tak ada contohnya) dari beberapa sisi berikut:
- Mereka dalam kegiatan khuruj tersebut tidak memperhatikan orang yang
diutus, entah ia alim atau jahil. Bahkan kebanyakan orang-orang JT yang
pernah kami temui langsung dalam khuruj-nya, mereka adalah orang-orang
jahil.[8]
Sekarang, mana sunnah (petunjuk) Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-
dan para sahabatnya yang menerangkan kepada kita bahwa mereka pernah
mengutus orang-orang jahil, apalagi preman yang baru bertobat?!
Jawabannya, mustahil ada!!!
- Ketika khuruj, mereka meninggalkan keluarga yang menjadi tanggungan
mereka. Perlu diketahui bahwa menghidupi dan memenuhi kebutuhan anak
istri atau orang tua adalah fardhu ain, sedang dakwah hukumnya adalah
fardhu kifayah!! Tentunya fardhu ain lebih didahulukan atas fardhu
kifayah.[9]
- Diantara mereka ada yang lalai –karena khuruj- dari melayani dan
berbakti kepada orang tuanya. Bahkan terkadang mereka durhaka kepada
keduanya.[10]
- Pekerjaan dan niaga para Jama’ah Tabligh banyak yang terbengkalai
gara-gara khuruj. Bagaimana tidak terbengkalai kalau dibiarkan, tak
diurusi dengan baik. Seorang tak boleh berdalih bahwa saya tinggalkan
dengan modal tawakkal.
- Para pengikut Jama’ah Tabligh, kalau ditanya tentang khuruj dan kenapa meninggalkan anak dan istri? Mereka bilang, “Kami tinggalkan demi Allah. Nantilah Allah yang urusi, kami cukup tawakkal kepada Allah”.
Ini jelas menyelisihi prinsip tawakkal di sisi Ahlus Sunnah. Tawakkal menurut Ahlus Sunnah memiliki dua sayap: Melakukan usaha dan Bersandar kepada Allah dalam hal hasil dan akhir usaha tersebut.
Seorang yang mau anak, maka harus menikah, dan berhubungan badan dengan
istri sambil bersandar dan berserah diri kepada Allah -Azza wa Jalla-
dalam urusan itu.
- Banyak pegawai dan karyawan yang terfitnah dengan dakwah Jama’ah
Tabligh telah melakukan pelanggaran terhadap aturan-aturan pemerintah,
seperti biasa meninggalkan pekerjaan alias alfa, tanpa berita dan udzur
yang dibolehkan. Ini merupakan sikap yang menggambarkan kurangnya sifat
amanah mereka saat diberi tugas oleh pemerintah. Demi khuruj yang bid’ah, siap meninggalkan amanah. Na’udzu billah minal bida’ wa ahliha.
- Selain itu, pelanggaran yang terbesar, khuruj merupakan bid’ah
yang disusupkan dalam agama. Mereka membuat syari’at yang menyalahi
agama. Padahal Allah dan Rasul-Nya menetapkan bahwa dakwah harus
didasari ilmu syar’iy, sedang Jama’ah Tabligh menyatakan bahwa boleh
khuruj (keluar) untuk dakwah, walaupun tanpa ilmu.
- Di dalam khuruj, mereka buat program jaulah (keliling) sekitar kampung yang mereka tempati khuruj. Saat jaulah, mereka membagi anggota khuruj menjadi dua bagian: satu kelompok yang melakukan jaulah dan
satu lagi tinggal di masjid berdzikir dengan maksud agar kelompok yang
berdzikir di masjid dapat membantu melancarkan dakwah mereka yang jaulah
dengan berkat kekuatan dzikir mereka. Ini keyakinan dan amalan yang
tak ada tuntunannya dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Beliau bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
وَفِي رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ : مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang mengada-adakan dalam urusan kami ini sesuatu yang bukan termasuk darinya, maka dia tertolak”. (HSR. Bukhary-Muslim dari ‘A`isyah)
Dalam suatu riwayat di sisi Imam Muslim : “Siapa saja yang beramal dengan suatu amalan yang tidak ada tuntunan kami padanya, maka amalan itu tertolak”.
Imam Asy-Syaukany -rahimahullah- berkata dalam Nailul Author (2/69) : “Hadits
ini termasuk bagian dari kaidah-kaidah agama karena di dalamnya masuk
berbagai macam hukum tanpa ada pengecualian. Betapa jelas menunjukkan
batilnya pendapat sebagian fuqoha`
(para ahli fiqhi) yang membagi bid’ah menjadi beberapa jenis dan
mengkhususkan tertolaknya bid’ah hanya pada sebagian bentuknya tanpa ada
dalil naql (Al-Kitab dan As-Sunnah) yang mengkhususkannya dan tidak
pula dalil akal”.
Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab -hafizhohullah- berkata dalam Al-Qaulul Mufid (hal. 72) dalam menjelaskan sabda beliau “fahuwa roddun” : “Yakni tertolak. Beliau tidak mengatakan “sesuai dengan niat pelakunya”. Bahkan beliau menghukumi semua bid’ah tertolak”.
4. Adapun sangkaan Bang Lubis bahwa orang-orang yang
khuruj (keluar) di jalan Allah untuk mendakwahkan agama dan berniat
memperbaiki diri, maka ini adalah sangkaan batil dan salah, sebab
seorang yang mau memperbaiki diri, ia harus belajar dan duduk di depan
para ulama dan ustadz agar ia mengetahui kebaikan dan keburukan
sehingga ia dapat mengamalkan yang baik dan meninggalkan yang buruk.
Adapun jika jika kita malas belajar, tapi langsung sibuk dakwah, maka
tentunya keliru dan sembrono. Bukankah seorang yang mau renang demi
menyelamatkan orang lain, harus belajar renang dahulu sebelum terjun ke
air??! Apalaa ta’qiluun???!!!!
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
إنما العلم بالتعلم
“Ilmu itu (hanyalah didapatkan) dengan belajar”. [HR. Ibnul Jauziy dalam Al-Ilal Al-Mutanahiyah (1/76), Al-Khothib dalam Tarikh Baghdad (9/127)][11]
5. Dalam ucapan Bang Lubis (Pengedit QVS)
di atas terdapat anggapan bahwa orang-orang selain mereka tidak pernah
terjun langsung ke medan dakwah demi menyebarkan agama. Kita katakan,
Orang-orang selain JT juga pergi berdakwah, tapi bukan dengan cara
sembrono, seperti khuruj yang kalian lakukan.[12]
“Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa”. (QS. An-Najm : 32)
Para dai dan muballigh dari berbagai organisasi telah melakukan dakwah
kemana-mana demi menyebarkan agama. Lantas kenapa Bang Lubis dan JT
mengingkari jasa mereka, dan seakan-akan hanya JT-lah berdakwah dengan
baik. Ini merupakan kesombongan dan keangkuhan intelektual, dengan
meminjam istilah Bang Lubis.
Para pembaca yang arif, sebenarnya Jama’ah Tabligh akan mengakui dakwah
orang jika ia ikut bersama JT. Jika tidak ikut, maka dakwah kita tidak
dianggap bernilai, walaupun kita berdakwah seumur hidup dan berceramah
ke seluruh dunia serta punya pengalaman dakwah yang banyak!!
6. Adapun ucapan Bang Lubis, “Akhirnya mereka
sibuk membicarakan , membahas, dan menseminarkan aib-aib orang , namun
mereka tak pernah memberi contoh tentang kebaikan-kebaikan yang
sesungguhnya”, maka yang dimaksud oleh Bang Lubis disini adalah Ahlus Sunnah yang ia istilahkan dengan salafiyyun.
Ucapan Bang Lubis ini perlu kita waspadai dan cermati, karena ia telah melakukan talbis
(tipu daya) di dalamnya. Ahlus Sunnah tidaklah pernah membicarakan aib
orang, kecuali jika berupa penyimpangan dalam beragama, maka mereka
jelaskan kepada umat demi menyelamatkan umat dari kubang penyimpangan
dan kesesatan. Semua itu mereka lakukan, karena sayangnya mereka kepada
kaum muslimin.
Sejak dahulu para ulama’ kita telah menjelaskan penyimpangan para ahli
bid’ah, dan kaum kuffar. Berikut ini kami akan bawakan beberapa atsar salafiyyah[13]
yang menjelaskan bahwa para Ahlus Sunnah sejak zaman salaf telah
menjelaskan penyimpangan pelaku kebatilan dan ahli bid’ah, bahkan para
salaf biasa membid’ahkan orang yang layak dibid’ahkan dan dijauhi:
Al-Fudhoil bin Iyadh -rahimahullah- berkata, “Aku telah menjumpai sebaik-baik manusia; mereka semuanya adalah ahlis sunnah. Mereka melarang dari ahli bid’ah”. [Lihat Syarh Al-I'tiqod (267) karya Al-Lalika'iy]
Jadi, menjauhi ahli bid’ah dan menjelaskan penyimpangan mereka
merupakan perkara yang sudah disepakati oleh para salaf. Sedang ini
bukan tashnif yang tercela !! Bahkan mereka melarang duduk
bersama ahli bid’ah, atau mendebatnya secara tatap muka, atau
mendengarkan sesuatu dari mereka.
Ibnu Sirin -rahimahullah- berkata, “Janganlah engkau duduk bersama ahli bid’ah, jangan mendebatnya, dan jangan mendengarkan (sesuatu) dari mereka”. [HR. Ad-Darimiy dalam Sunan-nya (401)]
Lihatlah Sufyan Ats-Tsauriy bagaimana ia menjauhi seorang Khawarij
dengan cara yang “kasar” dan “tak beradab” menurut hizbiyyun hari.
Abu Nu’aim -rahimahullah- berkata, “Sufyan Ats-Tsauriy
pernah masuk pada hari jum’at, tiba-tiba ada Al-Hasan bin Sholih bin
Hayyin sedang sholat. Maka Sufyan berkata, “Kami berlindung kepada
Allah dari Khusyu’ kemunafiqan, dan beliaupun mengambil sandalnya lalu
berpindah”. [Lihat Siyar A'lam An-Nubala' (7/363)]
Abu Nu’aim juga berkata, ” Al-Hasan bin Sholih pernah
disebutkan di sisi Ats-Tsauriy, maka beliau berkata, “Itu adalah
laki-laki yang memandang (bolehnya) memerangi ummat Muhammad
-Shollallahu ‘alaihi wasallam- (yakni, ia Khawarij.-pent)”. [HR. Ibnul Ja'd dalam Al-Musnad (2142)]
Seorang salaf -khusus- duduk untuk men-tahdzir ahli bid’ah, dan
orang-orang yang menyimpang. Ini mereka tidak anggap ghibah sebagaimana
yang dituduhkan oleh hizbiyyun.
Bisyr bin Al-Harits Al-Hafiy -rahimahullah- berkata, “Dahulu
Za’idah duduk di masjid untuk men-tahdzir (mengingatkan bahaya) Ibnu
Hayyin, dan pengikutnya. Beliau berkata, “Mereka memandang (bolehnya)
memerangi (kaum muslimin)”. [Lihat Tahdzib Al-Kamal (6/182) dan Siyar A'lam An-Nubala' (7/363)]
Abdullah bin Ahmad -rahimahullah- berkata, “Aku
Bertanya kepada Abu Tsaur Ibrahim bin Kholid Al-Kalbiy tentang Husain
Al-Karobisiy, maka beliau membicarakannya dengan ucapan yang jelek lagi
buruk”.[Lihat As-Sunnah (187)]
Imam Ahmad -rahimahullah- berkata saat menjelaskan penyimpangan dan jati diri Al-Karobisiy, “Bisyr Al-Marisiy mati, dan digantikan oleh Husain Al-Karobisiy”. [Lihat Tarikh Baghdad (8/66)]
Ada seorang laki-laki yang berkata kepada Ibnu Sirin -rahimahullah- , “Sesungguhnya si fulan mau datang kepadamu, dan ia tak berbicara sesuatu apapun. Ibnu Sirin berkata,
“Katakan kepada Fulan,”Tidak!”,tak usah ia datang, karena hati anak
Adam itu lemah, dan aku khawatir kalau aku mendengar suatu kalimat,
lantas hatiku tak kembali sebagaimana adanya”.[HR. Ibnu Baththoh dalam Al-Ibanah 'an Syari'ah Al-Firqoh An-Najiyah (399)]
Jika ada seorang dai salafy yang melarang manusia untuk datang ke
halaqoh kaum hizbiyyun dan ahli bid’ah yang menyebar syubhat yang bisa
merusak agama, maka tak ada salahnya.
Dengarkan Al-Firyabiy -rahimahullah- berkata, “Dulu Sufyan melarang aku duduk bersama fulan, yakni seorang dari kalangan ahli bid’ah”. [Lihat Al-Ibanah (454)]
Men-tahdzir kitab-kitab yang memiliki penyimpangan adalah jalan
para salaf. Hal itu tidak mereka anggap sebagai caci-makian yang
mengantarkan kepada tashnif.
Al-Imam An-Naqid Abu Zur’ah Ar-Roziy -rahimahullah- pernah ditanya tentang Al-Harits Al-Muhasibiy, dan kitab-kitabnya[14], maka beliau menjawab, “Waspadalah
kau terhadap kitab ini. Ini adalah kitab-kitab bid’ah dan kesesatan.
Berpeganglah kau dengan atsar, karena kau akan mendapatkan sesuatu di
dalamnya yang akan mencukupimu dari kitab-kitab ini”. Beliau ditanya lagi, “Dalam kitab-kitab ini terdapat ibroh”. Beliau menjawab, “Barang Siapa yang tak mendapatkan ibrah dalam Kitabullah, maka ia tak akan mendapatkan ibroh dalam kitab-kitab ini”. Kemudian beliau berkata, “Alangkah cepatnya manusia menuju bid’ah”.[Lihat Su'alat Al-Bardza'iy (561)]
Jika seorang dikenal telah menyimpang karena melakukan bid’ah, maka tak
perlu seorang salafiy bertanya langsung kepada si pelaku bid’ah
tentang bid’ah yang ia lakukan dan ia bela dengan alasan mau “tatsabbut” (mengecek)[15].
Sallam bi Abi Muthi’ -rahimahullah- berkata, “Seorang
dari kalangan ahli bid’ah berkata kepada Ayyub As-Sikhtiyaniy,”Wahai
Abu Bakr, Aku mau bertanya kepadamu tentang sebuah kalimat”. Ayyub
berpaling, sedang beliau berkata, “Tidak, walaupun separuh kalimat.
Tidak, walaupun separuh kalimat”. Beliau berisyarat dengan
jarinya-dengan kelingking kanannya-”. [Lihat As-Sunnah (101) karya Abdullah bin Ahmad]
Ketika ada seorang ahli bid’ah menampakkan kekhusyu’an dalam beribadah,
maka kita jangan tertipu dengan ibadahnya; jangan tertipu dengan “air
mata buaya” mereka, walaupun sampai pingsang. Tapi tetap harus waspada
dan jauh darinya.
Sa’id Al-Asyaj -rahimahullah- berkata, Aku pernah
mendengarkan Abdullah bin Idris, dan disebutkan kepada beliau tentang
pingsangnya Al-Hasan bin Sholih. Maka Abdullah bin Idris berkata, “Senyumnya
Sufyan (seorang ulama’ salaf, -pent) lebih aku cintai dibandingkan
pingsangnya Al-Hasan bin Sholih (seorang ahli bid’ah, -pent)”.[Lihat Tahdzib Al-Kamal (6/182), dan At-Tahdzib (2/249)]
Apa yang dikatakan oleh Abdullah bin Sufyan ini sesuai dengan hadits dari Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau bersabda,
يَخْرُجُ فِيكُمْ قَوْمٌ تَحْقِرُونَ صَلَاتَكُمْ مَعَ صَلَاتِهِمْ
وَصِيَامَكُمْ مَعَ صِيَامِهِمْ وَعَمَلَكُمْ مَعَ عَمَلِهِمْ
وَيَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ
الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ
“Akan keluar diantara kalian suatu kaum yang kalian akan menganggap
remeh sholat kalian dibandingka sholat mereka, puasa kalian
dibandingkan puasa mereka, dan amalan kalian dibandingkan amal mereka.
Mereka membaca Al-Qur’an sedang bacaan mereka tidak melampaui pangkal
tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama sebagaimana keluarnya anak
panah dar sasaran”.[HR. Al-Bukhoriy (4771) dan Muslim]
Para ulama’ dalam mengingatkan bahaya suatu kitab, itu tidak dianggap sebagai celaan. Bahkan sebagai nasihat bagi ummat agar jangan tertipu olehnya.
Syaikh Abdul Lathif bin Abdur Rahman Alusy Syaikh -rahimahullah- berkata tentang kitab Ihya’ Ulumuddin karya Al-Ghozaliy, “Sungguh
para ulama’ telah men-tahdzir (mengingatkan bahaya) memandang dan
menelaah kitab Ihya’, yang samar, maupun yang nampak. Bahkan para Ulama’
Maghrib yang dikenal dengan Sunnah telah mengeluarkan fatwa agar
membakarnya, dan dinamai oleh kebanyakan diantara mereka dengan “Imatah Ulumiddin” (Mematikan Ilmu Agama)[16]…”. [Lihat Ad-Duror As-Saniyyah (3/346)]
Meninggalkan seorang ahli bid’ah dan kitabnya karena khawatir
terpengaruh dengan syubhatnya adalah suatu perkara yang telah diamalkan
oleh Salaf.
Yahya bin Ubaid -rahimahullah- berkata, “Seorang
Mu’tazilah pernah menemui aku. Lalu ia berdiri, dan akupun berdiri.
Maka aku katakan, “Entah kau yang pergi, atau aku yang pergi, karena
jika aku berjalan bersama seorang nasrani, itu lebih aku cintai
dibandingkan berjalan bersamamu”. [Lihat Al-Bida' wan Nahyu anha (59) oleh Ibnu Wadhdhoh]
Membicarakan kondisi seorang rawi dalam rangka membersihkan agama kita
dari hadits yang lemah yang akan mengotorinya adalah perkara yang
dianjurkan sebagaimana halnya membantah dan menyebutkan nama orang-orang
yang menyimpang dalam rangka membersihkan agama dan ummat dari kotoran
pemikirannya adalah perkara yang dianjurkan.
Lihat saja Al-Imam Ahmad dalam atsar berikut bagaimana pandangan beliau
tentang membicarakan aib seorang rowi, apakah itu dianggap ghibah atau
nasihat ?!:
Abdullah bin Ahmad -rahimahullah- berkata, “Abu Turob
An-Nakhsyabiy –yaitu, ‘Askar bin Al-Hushoin- kepada bapakku. Maka
bapakku pu mulai berkata, “Si Fulan dho’if (lemah), si Fulan tsiqoh
(terpercaya). Maka Abu Turob berkata, “Wahai Syaikh, janganlah kau
mengghibah ulama’. Kata Abdullah, “Bapakku menoleh kepadanya seraya berkata, “Celaka engkau, ini adalah nasihat, bukan ghibah!!”. [Lihat Thobaqot Al-Hanabilah (1/249)]
Para Pembaca yang arif dan budiman, kami mohon maaf jika penukilan ini terlalu panjang.
Tapi demikianlah kami lakukan agar Bang Lubis dan bala tentaranya dari
kalangan Jama’ah Tabligh bisa sadar bahwa menjelaskan penyimpangan
ahli bid’ah adalah perkara yang disyari’atkan menurut taqrir (ketetapan)
para salaf dalam nukilan-nukilan tadi. Hal itu bukan ghibah yang
haram, bahkan merupakan pembelaan dan penjagaan terhadap kesucian agama
dari tangan-tangan kotor lagi jahil para ahli bid’ah dan pelaku
kebatilan.
7. Para salaf dan pengikut mereka yang dikenal dengan salafiyyun adalah
kaum yang memiliki semangat kuat dalam menyebarkan agama Allah dan
mengamalkannya pada diri pribadi dan keluarga mereka. Mereka bukanlah
suatu kaum yang menyerupai Yahudi (punya ilmu, tapi tak diamalkan), dan
tidak pula menyerupai kaum Nashoro (tidak berilmu, tapi berani
beramal).[17]
8. Bang Lubis tadi berkata di atas, “Bukankah dakwah Rasulullah saw hanya sedikit yang verbal, kalau boleh dikatakan tak ada”. [Lihat QVS (hal. 29)]
Ini merupakan kebingungan dan kejahilan dari Bang Lubis. Bahkan dakwah
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- banyak yang verbal (melalui ucapan)[18].
Beliau menjelaskan syari’at Allah dengan sabda dan ucapan beliau. Oleh
karena itu, para ulama kita telah membukukan ucapan-ucapan Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam- dalam kitab-kitab hadits, seperti Shohih
Al-Bukhoriy, Shohih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan At-Tirmidzidy,
Sunan An-Nasa’iy, Sunan Ibnu Majah Al-Qozwiniy, Musnad Ahmad, Sunan
Ad-Darimiy, Muwaththo’ Malik, dan lainnya.
Saya tak tahu kenapa Bang Lubis buta dari kitab-kitab tersebut yang
telah mencatat dan mendokumentasikan dakwah verbal dan ucapan-ucapan
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Kami khawatir jika Bang Lubis tak pernah belajar, tapi langsung dakwah
sehingga akhirnya ia mengucapkan sesuatu yang tak masuk akal. Padahal
Jama’ah Tabligh yang ia tergila-gila padanya, juga dakwahnya kebanyakan
dakwah verbal. Begitulah jika seorang bingung, ibarat orang buta.
“Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada”. (QS. Al-Hajj : 46)
- Benarkah Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- tak pernah Membuat Kecaman?!
Berbicara tanpa ilmu terkadang menyebabkan orang binasa dan menyerupai
orang yang tak berakal. Inilah yang menimpa Suadara kita, Bang Lubis (Pengedit QVS) saat ia berkata,
“Jadi, orang salafy nampaknya menjadikan ilmu sebagai “pedang” tanpa lebih dulu mendalami “seni bela diri.” Sehingga tanpa seni silat mereka menebas setiap “leher” orang Islam. Padahal dengan “seni silat” pemegang pedang dapat menyulap “lawan” menjadi “teman.” Rasulullah tak pernah membuat kecaman dan hujatan kepada kafir sekalipun, apalagi kepada orang yang pernah mengucapkan kalimah Thoyyibah, namun dakwahnya berhasil karena dengan hikmah yang sempurna. Kalau tanpa menunjukkan kesalahan, seseorang dapat beranjak dari kesalahannya, lantas berubah baik, kenapa tidak?
Padahal, jika kita selalu menunjukkan kesalahan orang lain, biasanya
diawali mengintip dan mencari kesalahan. Pada hal mengintip dan mencari
kesalahan besar yang dilarang khusus oleh Allah karena berakibat
negatif”. [Lihat QVS (29-30)]
Ucapan ini mengandung syubhat yang berbisa; dapat melumpuhkan dan
mematikan hati. Oleh karena itu, kami perlu membabat habis syubhat ini –bi aunillah- agar syubhat itu tidak menjangkiti hati kaum muslimin dengan memberikan jawaban dan catatan berikut ini:
1. Perumpamaan yang dibuat oleh Bang Lubis di atas
merupakan perumpamaan yang salah. Bahkan perumpamaan itu menjadi
bumerang yang menjadi senjata makan tuan Lubis. Perumpamaan itu
sebenarnya lebih layak diarahkan kepada JT, sebab merekalah yang terjun
menggunakan pedang dakwah, sebelum mereka mempelajari “ilmu silat”
berupa cara berdakwah di jalan Allah, dan juga syari’at yang dibutuhkan
oleh semua lapisan masyarakat. Akhirnya, Jama’ah Tabligh ngawur dalam
berdakwah. Sebagai contoh –bukan pembatasan-, JT jika menjumpai
salafiyyun, mereka tidak bersabar sampai memukul karena tidak sepaham
menurutnya. Padahal seorang muballigh, harus memiliki kesabaran yang
tinggi; jika tidak sepaham dengan orang, yah jangan main pukul dan main
keroyok. Ini bukan memperbaiki (bukan dakwah), bahkan emosi yang akan
merusak nama baik Jama’ah Tabligh.[19] Ini tentunya bukan hikmah !!
Contoh lain, mereka saat mendakwahi kaum pendosa, maka mereka
tak pernah menegur dosa-dosa mereka, tapi dibiarkan di dalam dosa. Oleh
karena itu, banyak dari kalangan mereka yang dahulu pendosa (minum
khomer, merokok, berbuat syirik, tukang pukul), yah tetap melakukan
dosa-dosa itu. Sebabnya? Karena tidak diberitahu dan ditegur dengan hikmah tentang perbuatan mereka tersebut. Selain
itu, karena kurangnya ilmu. Akhirnya, saudara dijadikan lawan dan
sasaran tinju. Na’udzu billah minal-jahl wa ahlih. Beginikah hikmah?!
2. Bang Lubis kali ini bingung lagi sehingga ia menyangka bahwa Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- tidak pernah mengecam dan menghujat orang kafir, apalagi kepada seorang muslim yang telah bersyahadat.
Ini tentu merupakan sangkaan salah, sebab Allah dan Rasulullah
-Shallallahu alaihi wa sallam- telah mengecam, baik orang kafir, maupun
orang Islam sebagaimana yang tersebut dalam ayat-ayat dan
hadits-hadits.
Seorang yang jahil harus dikecam atas kejahilannya; seorang pendosa
harus dikecam atas dosanya. Ini adalah perkara yang masyhur, dan telah
diketahui dalil-dalilnya oleh setiap orang yang berilmu. Tapi tak ada
salahnya, kalau kami bawakan beberapa dalil yang menunjukkan bahwa Allah
dan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah menghujat.
Allah -Ta’ala- berfirman mengecam dan menghujat kaum Nashoro,
“Sesungguhnya Telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya
Allah ialah Al masih putera Maryam”, padahal Al masih (sendiri)
berkata: “Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu”.
Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka
pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka,
tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.
Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah
salah seorang dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan
selain dari Tuhan yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang
mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan
ditimpa siksaan yang pedih”. (QS. Al-Maa’idah : 72-73).
Allah -Ta’ala- mengancam Ahli Kitab jika mereka tak beriman sekaligus mengecam mereka,
“Hai orang-orang yang Telah diberi Al kitab, berimanlah kamu kepada
apa yang Telah kami turunkan (Al Quran) yang membenarkan Kitab yang ada
pada kamu sebelum kami mengubah muka (mu), lalu kami putarkan ke
belakang atau kami kutuki mereka sebagaimana kami Telah mengutuki
orang-orang (yang berbuat maksiat) pada hari Sabtu. Dan ketetapan Allah
pasti berlaku. Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik,
dan dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi
siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah,
maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”. (QS. An-Nisaa’ :47-48)
Allah berfirman dalam mengecam Ahli Kitab yang ghuluw dalam beragama,
“Wahai ahli kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan
janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar.
Sesungguhnya Al Masih, Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan
(yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam,
dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah
dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan: “(Tuhan itu) tiga”,
berhentilah (dari Ucapan itu). (itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya
Allah Tuhan yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak, segala
yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. cukuplah Allah menjadi
Pemelihara”. (QS. An-Nisaa’ : 171)
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah mengecam para sahabat
yang ingin membentak laki-laki badui yang jahil, sebab ia kencing di
masjid. Dengarkan penuturan Anas bin Malik -radhiyallahu anhu-,
أَنَّ أَعْرَابِيًّا بَالَ فِي الْمَسْجِدِ فَقَامَ إِلَيْهِ بَعْضُ
الْقَوْمِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
دَعُوهُ وَلَا تُزْرِمُوهُ قَالَ فَلَمَّا فَرَغَ دَعَا بِدَلْوٍ مِنْ
مَاءٍ فَصَبَّهُ عَلَيْهِ
“Ada seorang laki-laki badui pernah kencing di
masjid. Maka sebagian manusia pun (yakni, para sahabat) bangkit menuju
orang itu. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, “Biarkan
orang itu, dan jangan putuskan kencingnya”. Dia (Anas) berkata, “Tatkala orang itu usai kencing, maka beliau meminta setimba air, lalu menyirami kencing itu”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab Al-Adab (no. 6025), dan Muslim dalam Kitab Ath-Thoharoh (no. 657)][20]
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah mengecam A’isyah, sebab ia
membeli bantal bergambar makhluk hidup. Dengarkan penuturan A’isyah
-radhiyallahu anha-
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا : أَنَّهَا اشْتَرَتْ
نُمْرُقَةً فِيهَا تَصَاوِيرُ فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بِالْبَابِ فَلَمْ يَدْخُلْ فَقُلْتُ أَتُوبُ إِلَى اللَّهِ
مِمَّا أَذْنَبْتُ قَالَ مَا هَذِهِ النُّمْرُقَةُ قُلْتُ لِتَجْلِسَ
عَلَيْهَا وَتَوَسَّدَهَا قَالَ إِنَّ أَصْحَابَ هَذِهِ الصُّوَرِ
يُعَذَّبُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُقَالُ لَهُمْ أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ
وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَا تَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ الصُّورَةُ
“Dia (A’isyah) pernah membeli sebuah bantal yang bergambar. Kemudian
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- berhenti di pintu, dan tak mau
masuk. Lalu aku (A’isyah) berkata, “Aku bertobat kepada Allah dari dosa
yang aku lakukan”. Beliau bersabda, “Bantal apakah ini?!” Aku katakan,
“(Bantal yang aku beli) agar Anda bisa duduk di atasnya, dan engkau
jadikan bantal tidur”. Beliau bersabda, “Sesungguhnya pembuat gambar
ini akan disiksa pada hari kiamat seraya dikatakan kepadanya,
“Hidupkanlah sesuatu (gambar) yang kalian ciptakan”; sesungguhnya para
malaikat tak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya terdapat gambar.
[HR. Al-Bokhoriy dalam Kitab Al-Buyu' (no. 2105), dan Muslim dalam Kitab Al-Libas wa Az-Zinah (no. 5499)][21]
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- juga pernah mengecam
orang-orang yang tidak mau menghadiri sholat jama’ah. Dengarkan Abu
Hurairah -radhiyallahu anhu- menceritakan kisahnya,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَدَ نَاسًا فِي بَعْضِ الصَّلَوَاتِ فَقَالَ لَقَدْ
هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ رَجُلًا يُصَلِّي بِالنَّاسِ ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى
رِجَالٍ يَتَخَلَّفُونَ عَنْهَا فَآمُرَ بِهِمْ فَيُحَرِّقُوا عَلَيْهِمْ
بِحُزَمِ الْحَطَبِ بُيُوتَهُمْ وَلَوْ عَلِمَ أَحَدُهُمْ أَنَّهُ يَجِدُ
عَظْمًا سَمِينًا لَشَهِدَهَا يَعْنِي صَلَاةَ الْعِشَاءِ
“Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah kehilangan
beberapa orang pada sebagian waktu-waktu sholat. Karena itu, beliau
beliau bersabda, “Sungguh aku amat berkeinginan untuk memerintahkan
seseorang untuk memimpin manusia melaksanakan sholat, lalu aku pergi
kepada orang-orang yang tertinggal sholat tersebut. Kenmudian aku
perintahkan (manusia) untuk membakar mereka, lalu merekapun membakar
rumahnya dengan beberapa ikat kayu bakar. Andaikan salah satu diantara
mereka (yang tertinggal) mengetahui bahwa ia mendapatkan tulang yang
berdaging (jika menghadiri sholat jama’ah, pen.), maka pasti ia
mendatangi sholat Isya’”. [HR. Muslim dalam Kitab Al-Masajid (no. 1479)][22]
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah mengecam Mu’adz bin Jabal -radhiyallahu anhu- saat ia memimpin manusia sholat dalam waktu yang lama.
كَانَ مُعَاذٌ يُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ثُمَّ يَأْتِي فَيَؤُمُّ قَوْمَهُ فَصَلَّى لَيْلَةً مَعَ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِشَاءَ ثُمَّ أَتَى
قَوْمَهُ فَأَمَّهُمْ فَافْتَتَحَ بِسُورَةِ الْبَقَرَةِ فَانْحَرَفَ
رَجُلٌ فَسَلَّمَ ثُمَّ صَلَّى وَحْدَهُ وَانْصَرَفَ فَقَالُوا لَهُ
أَنَافَقْتَ يَا فُلَانُ قَالَ لَا وَاللَّهِ وَلَآتِيَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَأُخْبِرَنَّهُ فَأَتَى
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ
اللَّهِ إِنَّا أَصْحَابُ نَوَاضِحَ نَعْمَلُ بِالنَّهَارِ وَإِنَّ
مُعَاذًا صَلَّى مَعَكَ الْعِشَاءَ ثُمَّ أَتَى فَافْتَتَحَ بِسُورَةِ
الْبَقَرَةِ فَأَقْبَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عَلَى مُعَاذٍ فَقَالَ يَا مُعَاذُ أَفَتَّانٌ أَنْتَ اقْرَأْ بِكَذَا
وَاقْرَأْ بِكَذَا
“Dahulu Mu’adz sholat bersama Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-,
lalu ia datang(pulang ke kaumnya), dan memimpin kaumnya melaksanakan
sholat. Pada suatu malam, dia pernah sholat Isya bersama Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam-. Setelah itu, ia datang ke kaumnya dan
memimpin mereka sholat. Maka Mu’adz memulai dengan Surat Al-Baqoroh.
Akhirnya, ada seorang laki-laki yang menyingkir, lalu memberi salam.
Kemudian ia sholat sendirian, dan pulang ke rumahnya. Mereka berkata,
“Apakah engkau telah menjadi munafiq wahai fulan?” Laki-laki itu
berkata, “Demi Allah, sungguh aku akan mendatangi Rasulullah
-Shallallahu alaihi wa sallam- untuk mengabarkan hal ini. Kemudian ia
pun datang kepada Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- seraya
berkata, “Wahai Rasulullah, “Sesungguhnya kami adalah pemilik ternak
yang bekerja di siang hari. Sesungguhnya Mu’adz telah sholat Isya’
bersama Anda. Kemudian ia datang (memimpin kami sholat, pen.). Maka ia
pun memulai sholatnya dengan Surat Al-Baqoroh”. Maka Rasulullah
-Shallallahu alaihi wa sallam- menghadap kepada Mu’adz seraya bersabda,
“Wahai Mu’adz, apakah engkau orang yang suka bikin gara-gara?! Bacalah
begini dan begini”.[23] [HR. Muslim dalam Kitab Ash-Sholah (no. 1040)][24]
Para Pembaca yang bijak, semua hadits ini menunjukkan bahwa Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam- terkadang mengecam sebagian orang yang
melakukan pelanggaran demi meluruskannya, bukan malah membiarkannya
terus di atas pelanggarannya. Jadi, hadits-hadits ini meruntuhkan
persangkaan Bang Lubis yang menyangka secara batil bahwa Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam- tidak pernah mengecam orang.
3. Bang Lubis dalam ucapannya di atas seakan
menyatakan bahwa mengecam seseorang atas dosanya dan menunjukkan
dosa-dosanya merupakan perkara yang bukan termasuk hikmah. Bahkan
hikmah menurutnya adalah membiarkan mereka di atas kemungkaran. Ini
jelas menyalahi hikmah yang Allah tetapkan di dalam Kitab-Nya saat ia
berfirman,
“Telah dila’nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan
Daud dan Isa putera Maryam. yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka
dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak
melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah
apa yang selalu mereka perbuat itu”. (QS. Al-Maa’idah : 78-79)
Para Pembaca yang mulia, hikmah adalah meletakkan sesuatu pada
tempatnya. Jadi, seorang dai tidak hanya memerintahkan yang ma’ruf,
tapi ia juga harus melarang dan mencegah dari yang mungkar; atau
sebaliknya. Adapun seorang dai hanya memerintahkan yang ma’ruf, lalu
tidak melarang perbuatan mungkar pada diri kaum muslimin, maka ini bukan
hikmah sebab menyalahi petunjuk Allah, dan Sunnah Nabi -Shallallahu
alaihi wa sallam- dalam perkara amar ma’ruf nahi mungkar. Dai semodel
ini tidak menempatkan dan merealisasikan ayat dan hadits pada tempatnya.
Sebab mereka tidak lagi melakukan nahi munkar (melarang
kemungkaran). Padahal jika nahi munkar telah ditinggalkan, maka
tunggulah kehancuran umat. Inilah yang pernah disinyalir oleh Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam- dalam sabdanya,
مَثَلُ الْقَائِمِ عَلَى حُدُودِ اللَّهِ وَالْوَاقِعِ فِيهَا كَمَثَلِ
قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلَاهَا
وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا فَكَانَ الَّذِينَ فِي أَسْفَلِهَا إِذَا
اسْتَقَوْا مِنْ الْمَاءِ مَرُّوا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ فَقَالُوا لَوْ
أَنَّا خَرَقْنَا فِي نَصِيبِنَا خَرْقًا وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا
فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعًا وَإِنْ أَخَذُوا
عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيعًا
“Perumpamaan orang yang tegak di atas batasan-batasan Allah[25], dan orang yang melanggar batasannya [26],
ibarat kaum yang membagi tempat dalam perahu. Sebagian mereka
mendapatkan bagian atasnya, dan lainnya mendapatkan bagian bawahnya.
Orang-orang yang berada di bagian bawah jika mereka mau mengambil air,
maka mereka melewati orang-orang yang ada di atas [27].
Mereka (orang-orang bawah) berkata, “Kami akan melubangi saja bagian
kami ini sehingga tidak mengganggu orang-orang yang di atas. Jika mereka
(orang-orang yang di atas) membiarkannya dan apa yang mereka inginkan,
maka mereka semuanya akan binasa. Tapi jika mereka mencegah perbuatan
orang-orang itu, maka mereka (bagian atas) akan selamat, dan juga
mereka (bagian bawah) semuanya”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab Asy-Syahadat (no. 2686)][28]
Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaliy -hafizhohullah- berkata, “Hukuman
membiarkan kemungkaran bukan hanya kembali kepada pelakunya, bahkan
kembali kepada seluruh masyarakat, sebab masyarakat banyak akan di-adzab
(disiksa) dengan sebab dosa-dosa sebagian orang, jika mereka tidak
mengingkari kemungkaran. Karena kehancuran suatu masyarakat disebabkan
oleh dibiarkannya para pelaku kemungkaran bebas melakukan kerusakan di
atas permukaan bumi”.[29]
Oleh karenanya, hendaknya Jama’ah Tabligh takut kepada siksa Allah saat
mereka membiarkan bid’ah, penyimpangan, dan maksiat di kalangan
mereka, dengan dalih menjaga kemaslahatan anggota!! Seorang
berdakwah bukanlah hanya sekedar mencari pengikut, tapi untuk
menyampaikan hujjah Allah kepada makhluk-Nya. Janganlah kalian berdakwah
karena mencari pengikut sebanyak-banyaknya dan berbangga dengan jumlah
banyak tersebut sehingga kalian lupa, bahkan sengaja tidak melakukan
nahi munkar!!! Ini adalah jalan yang menyalahi dakwah para anbiya’.
Para nabi dan rasul telah menegakkan amar ma’ruf-nahi munkar sampai ada diantara mereka yang tidak memiliki pengikut. Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- menceritakan hal itu dalam sabdanya,
عُرِضَتْ عَلَيَّ اْلأُمَمُ, فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ وَمَعَهُ
الرُّهَيْطُ, وَالنَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلاَنِ
وَالنَّبِيَّ لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ
“Umat-umat telah diperlihatkan kepadaku; aku melihat seorang nabi
dan bersamanya sekelompok kecil pengikutnya; seorang nabi lagi bersama
satu-dua orang (dari kalangan pengikutnya), dan seorang nabi lagi yang
tak ada seorangpun bersamanya”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (3410, 5705, 5752, 6472, & 6541), dan Muslim dalam Shohih-nya (220)]
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy -rahimahullah- berkata, “Di
dalam hadits ini terdapat dalil yang gamblang bahwa banyak-sedikitnya
pengikut bukanlah barometer untuk mengenal bahwa seorang dai berada di
atas kebenaran atau kebatilan. Para nabi tersebut –walaupun dakwah dan
agama mereka sama-, tapi mereka berbeda dari banyak-sedikitnya pengikut
mereka sampai ada diantara mereka yang tidak dibenarkan (tidak
didukung), kecuali oleh seorang saja, bahkan ada nabi yang tidak ada
orang yang mengikutinya. Maka di dalam hal ini terdapat ibrah
(pelajaran) yang mendalam bagi para dai dan masyarakat di zaman ini.
Jadi, seorang dai harus mengingat hakikat perkara ini, dan meneruskan
langkahnya di jalan dakwah menuju Allah -Ta’ala-, hendaknya tak usah
peduli dengan sedikitnya orang-orang yang menerimanya, karena tak ada
tanggung jawab atas seorang dai, selain memberikan penyampaian yang
jelas. Bagi para dai ada contoh yang baik pada diri para nabi yang
terdahulu; tak ada pengikut bersama mereka, kecuali satu-dua orang
saja!!
Masyarakat hendaknya jangan merasa risih karena sedikitnya
orang-orang yang menyambut seorang dai, dan menjadikan hal sebagai jalan
untuk ragu terhadap dakwah yang haq, serta tak mau beriman dengannya.
Apalagi menjadikan hal itu sebagai bukti kebatilan dakwah seorang dai,
dengan dalih “Tak ada orang yang mengikutinya, atau ia hanyalah diikuti
oleh kaum minoritas. Andaikan dakwahnya benar, niscaya dakwahnya akan
diikuti oleh oleh mayoritas orang”. Padahal Allah -Azza wa Jalla-
berfirman…”. [Lihat Ash-Shohihah (1/755-756)]
Kemudian Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy -rahimahullah- membawakan firman Allah,
“Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman, -walaupun engkau sangat menginginkannya-”. (QS. Yusuf : 103)
Di dalam ayat lain, Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang ada di muka bumi
ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak
lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka. Dan mereka tidak lain hanyalah berdusta”.(Al-An’am :116)
Ahli Tafsir Jazirah Arab, Al-Imam As-Sa’diy -rahimahullah- berkata, “Ayat
ini menunjukkan bahwa banyaknya pengikut tidak bisa menjadi dalil
kebenaran. Sebaliknya, sedikitnya pengikut tidak bisa dijadikan dalil
bahwa itulah yang batil. Bahkan kenyataan menunjukkan kebalikannya,
pelaku kebenaran sedikit jumlahnya, namun mereka besar kadar dan
pahalanya di sisi Allah. Bahkan yang wajib dijadikan dalil untuk
mengetahui kebenaran dan kebatilan adalah jalan-jalan yang bisa
mengantar kepada hal itu (yakni, Al-Qur’an). [Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman (hal 233)]
Jadi, berdakwah bukanlah tujuannya mencari pengikut sebanyak-banyaknya
sampai kita mengikuti selera masyarakat yang mayoritasnya membenci
kebenaran. Semoga ini menjadi bahan renungan bagi Bang Lubis dan
Jama’ah-nya agar lebih memperbaiki cara berdakwah, dan jangan takut
dengan celaan manusia. Laranglah manusia dari perbuatan mungkar
sebagaimana kalian memerintahkan yang ma’ruf kepada mereka!! Inilah
dakwah yang hikmah dan bijak.
4. Menjelaskan kesalahan dan penyimpangan seseorang
atau suatu kaum adalah perkara yang disyari’atkan agar selain mereka
tidak terjerembab dalam kubang kesalahan yang sama. Menjelaskan
penyimpangan dan kebatilan suatu kaum tidak mesti kita mengorek,
mengintip dan mencari, sebab terkadang penyimpangan dan kebatilan itu
muncul sendiri di hadapan kita, bahkan disebarkan oleh para
pengusungnya, seperti buku Quo Vadis Salafy yang sedang
kita sanggah. Buku ini dijajakan di toko-toko buku. Ketika kita melihat
dan membuka buku yang menyimpang, maka tanggung jawab seorang yang
berilmu adalah menjelaskan kebatilan yang terdapat di dalamnya.
Salafiyyun tidaklah pernah mengorek, apalagi mengintip orang lain demi
mengetahui penyimpangannya, sebab umur itu pendek, masih banyak yang
perlu kita kerjakan.[30]
5. Selain itu, perlu diketahui bahwa jika
penyimpangan suatu kaum sudah tersebar luas ke publik, maka
pengingkaran terhadap penyimpangan itu juga harus secara terbuka dan
meluas ke publik. Sedang ini bukanlah perkara yang dicela oleh Allah
dalam ayat yang dibawakan oleh Bang Lubis dalam Surat Al-Hujuraat, ayat 12.
Lantas kenapa Ustadz Abdurrahman Lubis dan kawan-kawan menulis QVS demi membuka “aib” dan “kesalahan” salafiyyun. Nah, jujur saja senjata makan tuan.
6. Membongkar penyimpangan bukanlah perkara yang membawa dampak negative,
bahkan ia merupakan maslahat yang besar dalam menjaga kesucian agama,
dan menyelamatkan umat dari syubhat para pelaku kebatilan.
- Salafy Sering Berselisih? Tidak!!
Buku Quo Vadis Salafy yang ada di hadapan kita ini
merupakan kita yang berisi dengan syubhat-syubhat yang banyak. Halaman
demi halaman, mayoritasnya berisi syubhat batil yang harus kita kritik.
Demikianlah kondisinya jika yang berbicara adalah orang bingung.
Kita dengarkan syubhat berikutnya yang akan dimuntahkan oleh Bang Lubis saat ia berkata,
“Karena itu, Allah akan menutup hatinya dari melihat kebaikan orang. Akhirnya, sering membuat blunder di tengah komunitas muslim lain, khususnya di luar kelompok mereka. Bahkan tak cuma di luar, di kalangan mereka sendiri tak jarang terjadi perselisihan, saling mengklaim kebenaran, mengkafirkan dan membid’ahkan sesama”. [Lihat QVS (hal.30)
Menjawab kerancuan Bang Lubis, kami katakan,
1. Alhamdulillah, salafiyyun alias Ahlus Sunnah dari dulu sampai sekarang telah dikenal sebagai suatu kaum yang menjaga persatuan kaum muslimin
di atas kebenaran. Apabila mereka melihat kaum muslimin meninggalkan
aqidah salaf, maka mereka mencegahnya dan menunjukkan letak kekeliruan
seseorang atau kelompok agar ia kembali kepada prinsip aqidah. Ini semua
demi menjaga keutuhan umat di atas Al-Kitab dan Sunnah.
Allah -Ta'ala- berfirman memerintahkan bersatu di atas al-haq,
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (Kitab) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai,
dan ingatlah nikmat Allah kepada kalian ketika kalian dahulu (masa
Jahiliyah) bermusuh-musuhan. Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu
menjadilah kalian orang-orang yang bersaudara karena nikmat Allah; dan
kalian telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan
kalian dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada
kalian, agar kalian mendapat petunjuk". (QS. Ali Imraan : 103)
Al-Hafizh Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata saat menafsiri ayat di atas, "Allah
-Ta'ala- memerintahkan mereka untuk bersatu (di atas al-haq), dan
melarang mereka dari perpecahan. Sungguh telah datang beberapa yang
melarang dari perpecahan, dan memerintahkan untuk bersatu".[31]
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
إِنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلَاثًا وَيَكْرَهُ لَكُمْ ثَلَاثًا
فَيَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوهُ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَأَنْ
تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَيَكْرَهُ
لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ وَإِضَاعَةِ الْمَالِ
“Sesungguhnya Allah meridhoi tiga hal bagi kalian, dan membenci tiga
hal bagi kalian. Maka Allah meridhoi bagi kalian kalau kalian
menyembahnya, dan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Nya;
kalian berpegang teguh dengan tali (Kitab) Allah, dan jangan berpecah.
Dia membenci bagi kalian qiila wa qoola (gossip), banyak bertanya, dan
menyia-nyiakan harta”.[HR. Muslim dalam Kitab Al-Aqdhiyah (no. 4456)][32]
2. Adapun ahli bid’ah –seperti JT- maka mereka
adalah kaum yang telah memecah belah umat dalam aqidah dan ajaran yang
menyelisihi aqidah dan ajaran salaf.[33]
3. Perselisihan dan khilaf jika terjadi karena
perkara aqidah dan prinsip, maka yang berada di atas kebatilan, ia yang
dicela oleh Allah; sedang yang berada di atas kebenaran, ia akan
dipuji oleh Allah.
4. Perselisihan dan khilaf ada dua macam: khilaf tanawwu’, dan khilaf tadhood. Khilaf tanawwu’ tidaklah tercela, sedang khilaf tadhood adalah tercela. Nah, kami bertanya kepada Bang Lubis, “Khilaf apa yang terjadi di antara salafiyyun. Khilaf tadhood??!” Tak mungkin, sebab jika terjadi, maka pasti yang satunya tidaklah disebut lagi dengan salafy, tapi ia adalah ahli bid’ah, atau bahkan ia mungkin kafir, jika khilafnya besar.
5. Bila seorang yang berada di atas al-haq
berdasarkan ilmu yang ia ketahui -bukan dengan kejahilan dan
kebingungan-, maka ia harus yakin bahwa ia adalah pengikut al-haq. Seorang tak boleh ragu dalam menyatakan kebenaran aqidah salaf
yang ia yakini selama ini, tak boleh ragu dan bimbang. Sebaliknya, ia
yakin bahwa aqidah lain yang menyelisihi aqidah salaf adalah aqidah
batil. Ini bukan sekedar klaim kebenaran, tanpa hujjah, bahkan meyakini
aqidah salaf, tanpa keraguan. Jangan seperti Bang Lubis yang belum bisa
menyatakan bahwa aqidahku adalah aqidah yang benar, sebab ia masih
bingung dengan kebenaran itu sendiri. Nas’alullahal afiyah was salamah minal jahl wa ahlih.
6. Di akhir ucapan di atas, Bang Lubis berdusta atas
Ahlus Sunnah alias salafiyyun bahwa mereka suka mengkafirkan dan
membid’ahkan sesama. Jelas ini kebohongan. Kapan salafiyyun mengkafirkan sesama kaum muslimin.
Jika mereka mengkafirkan orang –dan ini jarang sekali-, maka mereka
mengkafirkan dengan hujjah, sebab mengkafirkan orang islam adalah besar
di sisi Allah -Azza wa Jalla-. Oleh karenanya, Allah dan Rasulullah
-Shallallahu alaihi wa sallam- telah menetapkan syarat-syarat
pengkafiran, dan menjelaskan penghalang-penghalangnya. Para ulama Ahlus
Sunnah wal Jama’ah adalah kaum yang amat takut dalam mengkafirkan
seorang muslim.[34] Ambil saja sebagai contoh, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
yang dikenal dengan keluasan ilmunya, ternyata beliau adalah orang
yang paling takut mengkafirkan seorang yang telah bersyahadat.
Karenanya, jika kita menelaah semua karya tulis beliau, maka kita tak
akan menemukan nama orang-orang yang beliau kafirkan, kecuali
segelintir orang. Seingat kami, beliau hanya mengkafirkan Ibnu Arobi
Ath-Tho’iy, Al-Hallaj, dan Ibnu Sab’in. Hanya bilangan jari saja.[35]
Jadi, tuduhan bahwa salafiyyun suka mengkafirkan adalah perkara dusta.
Kedustaan akan dipertanggungjawabkan oleh Bang Lubis di hadapan Allah
-Azza wa Jalla-, pada hari tidak lagi bermanfaat harta dan anak.
Allah -Ta’ala- berfirman,
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat
tanpa kesalahan yang mereka perbuat, Maka Sesungguhnya mereka Telah
memikul kebohongan dan dosa yang nyata”. (QS. Al-Ahzaab : 58)
Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata dakam menjelaskan makna ayat di atas, “Maksudnya,
mereka (yang menuduh) melontarkan kepada mereka (yang tertuduh)
sesuatu yang mereka berlepas diri darinya, sesuatu mereka tak pernah
mereka lakukan dan kerjakan…Inilah kedustaan yang nyata, seorang
menceritakan atau menukil dari kaum mukminin dan mukminat sesuatu yang
tak pernah mereka kerjakan dalam rangka mencela dan merendahkan mereka”
.[36]
Ayat ini merupakan pukulan berat bagi Bang Lubis dan Penulis QVS yang
telah menulis QVS dengan berisi kedustaan-kedustaan, mulai dari tuduhan
bahwa salafiyyun adalah kaki tangan Zionis, pengikut paham batil
Mujassimah/Musyabbihah, Tabligh juga menyesatkan ulama (semisal,
Ath-Thohawiy, Syaikhul Islam, Adz-Dzahabiy, Ibnul Qoyyim, Muhammad bin
Abdil Wahhab, Syaikh Bin Baaz, Syaikh Al-Albaniy). Selain itu, Penggarap
QVS ini juga menuduh bahwa Salafiyyun adalah golongan sesat
Hasyawiyyah, Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab belajar kepada Orinetalis
bernama Hempher, ta’ashshub (fanatic buta), tuduhan menghina Imam
Ghozaliy.
Penulis QVS juga menuduh salafiyyun bahwa mereka melarang ziarah kubur,
menghina kuburan orang-orang shalih, mudah menuduh sesat. Kata Penulis
QVS bahwa salafiyyun juga menuduh sahabat sebagai munafiq –na’udzu
billah-, melakukan pembantaian di Jazirah Arab, dan masih banyak lagi
tuduhan keji Penulis Quo Vadis Salafy yang tak sempat kami sebutkan.
Bagi Anda yang mau mengetahuinya, baca tuduhan-tuduhan keji dan dusta
ini dalam QVS dari (hal. 86-281)
Semua itu adalah tuduhan-tuduhan dusta atas salafiyyun yang akan
menjadi penyesalan besar bagi Bang Lubis (Sang Editor “Ulung”), dan
Kedua Penulis QVS, sekaligus menjadi pembersih dosa orang-orang yang
mereka tuduh secara keji dan dusta. Inilah yang disinyalir oleh Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam- dalam sabdanya,
أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا
دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي
يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي
قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ
هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ
حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا
عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي
النَّارِ
“Tahukah kalian siapa itu orang bangkrut? Mereka (para sahabat)
menjawab, “Orang bangkrut di antara kami adalah orang yang tak memiliki
dirham, dan tak pula barang-barang”. Beliau bersabda, “Sesungguhnya
orang bangkrut diantara umatku akan datang pada hari kiamat membawa
pahala sholat, puasa, dan zakat. Dia datang sedang ia telah mencela si
ini, menuduh si ini, memakan harta si ini, menumpahkan darah si ini,
memukul si ini. Maka si ini dan si ini akan diberikan pahala kebaikan si
bangkrut. Jika kebaikan si bangkrut telah habis sebelum dibereskan
urusannya, maka akan diambilkan dari dosa-dosa mereka, lalu diberikan
kepada si bangkrut seraya dijebloskan ke neraka”. [HR. Muslim dalam Al-Birr wa Ash-Shilah (no. 6522)] [37]
7. Adapun masalah membid’ahkan orang-orang yang
pantas dibid’ahkan karena memiliki penyimpangan aqidah, maka ini
merupakan perkara yang masyhur di kalangan ulama salaf. Karenanya, para
salaf menyebutkan pribadi, maupun kelompok yang dianggap ahli bid’ah.
Dari kalangan pribadi -misalnya- mereka membid’ahkan Washil bin Atho’,
Amer bin Ubaid, Al-Ja’d bin Dirham, Ahmad bin Abi Du’ad, Bisyr
Al-Marisiy, Abu Manshur Al-Maturidiy, Abdur Rahman bin Muljam,
Al-Karobisiy, Al-Muhasibiy, dan lainnya. Masalah pembid’ahan para
person ini, kalian bisa lihat dalam kitab-kitab aqidah, Syarh Ushul I’tiqod Ahlis Sunnah wal Jama’ah, As-Sunnah,[38]Asy-Syari’ah, Al-Ibanah Al-Kubro, Al-Ibanah Ash-Shughro, Naqd Bisyr Al-Marisiy, dan lainnya.
Demikian pula mereka membid’ahkan kelompok yang menyimpang dari jalan
Salaf, seperti, Jahmiyyah, Khowarij, Mu’tazilah, Syi’ah, Shufiyyah,
Murji’ah, Qodariyyah, Jabriyyah, dan Nawashib.
Para ulama salaf sejak dahulu telah membid’ahkan mereka. Ini
menunjukkan kepada kita bahwa membid’ahkan orang yang pantas dibid’ahkan
adalah perkara yang disyari’atkan.
[1] Ini adalah sebuah bukti kuat bahwa Pengedit dan Penulis Quo Vadis Salafy
adalah para penghujat yang memiliki mulut yang lancang. Walaupun
mereka berusaha membela diri di (hal. 8) bahwa mereka bukan penghujat.
Tapi pengakuan tak cukup, tanpa ada bukti konkrit. Mereka sebenarnya lempar batu sembunyi tangan.
[2] Pembahasan masalah ini telah berlalu sebelumnya; tak perlu kami ulangi. Silakan dirujuk!!
[3] Bantahan tentang bid’ah hasanah akan datang, Insya Allah -Ta’ala-.
[4]
Ini tampak jelas ketika membicarakan jenis dan contoh bid’ah. Tak ada
bid’ah yang ia sebutkan kecuali ia beri komentar di catatan kaki
sebagai pembenaran terhadap bid’ah-bid’ah yang disebutkan oleh para
ulama kita. [Lihat QVS (hal.1-7)]
Adanya bid’ah hasanah, juga diperkuat oleh dua Penulis Quo Vadis Salafy. Na’udzu billahi minal jahli wa ahlih. [Lihat QVS (hal. 198-199)]
Adanya bid’ah hasanah, juga diperkuat oleh dua Penulis Quo Vadis Salafy. Na’udzu billahi minal jahli wa ahlih. [Lihat QVS (hal. 198-199)]
[5]
Ahli dzikir maksudnya adalah orang-orang yang berdzikir secara
berjama’ah, atau mereka adalah kelompok yang berdzikir di masjid saat JT
melakukan jaulah. Tapi tampaknya yang pertama lebih kuat sebagaimana
ia jelaskan sebelumnya. [Lihat QVS (hal. 3/footnote: 5)]
[6]
Abu Abdir Rahman: Sapaan bagi Abdullah bin Mas’ud. Abu Abdirrahman,
artinya: Bapaknya Abdur Rahman. Hal ini juga berlaku di negeri kita
sebagai sapaan penghormatan.
[7]
Ini membantah alasan Bang Lubis saat ia membolehkan dzikir jama’ah
dengan alasan bahwa dengan suara tertentu ketika berdzikir dapat
menimbulkan kekhusyu’an dan tawajjuh. Padahal seorang tak mungkin akan khusyu’ dan tawajjuh jika menyelisihi Sunnah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-
dalam berdzikir. Hanya saja seorang terkadang merasa khusyu’, tapi
sebenarnya itu bukan khusyu’, bahkan ia adalah bisikan dan peluluan dari
setan. Nas’alullahal afiyah was salamah.
[8]
Parahnya lagi, preman-preman yang baru tobat sehari-dua hari, eh malah
disuruh khuruj dan berdakwah. Akhirnya, jika mereka menemui
orang-orang yang tak sepaham dengan mereka, dan kehabisan hujjah ketika
ditanya dan dialog, maka tidak ada lagi hujjah, kecuali pukulan dan
tinju. Ini bukan ikromul muslimin (memuliakan kaum muslimin), tapi
isaa’atul muslimin (menyakiti kaum muslimin). Oleh karenanya, saya
nasihatkan kepada para pemimpin Jama’ah Tabligh –diantaranya Ustadz
Bang Lubis- agar mendidik dan mengajari mereka ilmu agama yang akan
meluruskan akhlaq mereka (preman), jangan disuruh khuruj (keluar
berdakwah). Akhirnya, bukan memperbaiki, malah merusak.
Ketika terjadi pemukulan-pemukulan terhadap masyarakat diberbagai daerah yang dilakoni oleh para mantan preman dari kalangan JT, maka pasti alasan mereka bahwa hal itu dimaklumi saja karena mereka preman. Ini alasan Jama’ah Tabligh. Tapi apakah alasan ini bisa diterima begitu saja??! Tentu tidak, yang harus kita pikirkan adalah solusinya agar mereka tidak melakukan hal itu. Solusinya adalah belajar dan menuntut ilmu dari para ulama atau ustadz-ustadz yang juga berakhlaq agar ia bisa duduk memperhatikan, hidup mencontoh kehidupan mereka dalam bermu’amalah.
Ketika terjadi pemukulan-pemukulan terhadap masyarakat diberbagai daerah yang dilakoni oleh para mantan preman dari kalangan JT, maka pasti alasan mereka bahwa hal itu dimaklumi saja karena mereka preman. Ini alasan Jama’ah Tabligh. Tapi apakah alasan ini bisa diterima begitu saja??! Tentu tidak, yang harus kita pikirkan adalah solusinya agar mereka tidak melakukan hal itu. Solusinya adalah belajar dan menuntut ilmu dari para ulama atau ustadz-ustadz yang juga berakhlaq agar ia bisa duduk memperhatikan, hidup mencontoh kehidupan mereka dalam bermu’amalah.
[9] Ini membantah logika batil yang diutarakan oleh seorang Penulis Jama’ah Tabligh, Dody Sumantri El Cibitungi saat ia berkata, “Seorang
supir di rumah bersama anak istrinya tetapi ketika pergi kerja jadi
supir, adakah bawa istri ?? bawa anak ?? tentu TIDAK !!Kenapa? Karena
badan supir itu hanya satu…Jadi salahkah orang yang keluar di jalan
Alloh atas perintah Alloh telah tinggalkan anak istrinya di rumah ??
Sedangkan badannya Cuma satu, kalaulah badannya dua pastilah satu pergi
khuruj dan satu lagi di rumah”. [Lihat Mengapa Saya Tinggalkan anak Istri untuk Khuruj fi Sabilillah (hal. 43-44) oleh Dody Sumantri El Cibitungi Abdan Syakuro]
Menjawab Dody Sumantri At-Tablighiy ini, kami katakan, “Jelas cara kalian salah!! Sebab telah meninggalkan tanggungan kewajiban yang sifatnya fardhu ain untuk ditunaikan. Adapun dakwah, maka ia fardhu kifayah; jika sudah ada yang melakukannya, maka kewajiban dakwah telah gugur dari yang lainnya. Makanya para sahabat tidak semuanya diutus pergi berdakwah. Berapa banyak sahabat yang tidak pernah keluar berdakwah!!”.
Adapun Bang Dody berdalih bahwa dakwah itu diperintahkan Allah, ya memang Allah perintahkan, tapi bukan kepada setiap orang, tapi kepada orang-orang yang berhak mengembannya.
Bang Dody juga berdalih dengan kisah Ibrahim saat meninggalkan anak dan istrinya di Makkah. Padahal itu tak bisa dijadikan hujjah oleh Tabligh. Ibrahim beda dengan kalian wahai JT. Ibrahim berangkat karena perintah dan titah langsung yang di arahkan secara khusus kepada Ibrahim. Nah, apakah JT juga menerima wahyu berisi perintah dan titah khusus ?! Tentu tak ada, kecuali kalau diantara JT ada yang mengaku nabi.
Menjawab Dody Sumantri At-Tablighiy ini, kami katakan, “Jelas cara kalian salah!! Sebab telah meninggalkan tanggungan kewajiban yang sifatnya fardhu ain untuk ditunaikan. Adapun dakwah, maka ia fardhu kifayah; jika sudah ada yang melakukannya, maka kewajiban dakwah telah gugur dari yang lainnya. Makanya para sahabat tidak semuanya diutus pergi berdakwah. Berapa banyak sahabat yang tidak pernah keluar berdakwah!!”.
Adapun Bang Dody berdalih bahwa dakwah itu diperintahkan Allah, ya memang Allah perintahkan, tapi bukan kepada setiap orang, tapi kepada orang-orang yang berhak mengembannya.
Bang Dody juga berdalih dengan kisah Ibrahim saat meninggalkan anak dan istrinya di Makkah. Padahal itu tak bisa dijadikan hujjah oleh Tabligh. Ibrahim beda dengan kalian wahai JT. Ibrahim berangkat karena perintah dan titah langsung yang di arahkan secara khusus kepada Ibrahim. Nah, apakah JT juga menerima wahyu berisi perintah dan titah khusus ?! Tentu tak ada, kecuali kalau diantara JT ada yang mengaku nabi.
[10]
Seorang bapak tua pernah didurhakai anaknya yang terlibat dalam
kegiatan khuruj JT. Pasalnya, si bapak mencari anaknya dalam jarak
ratusan kilometer. Ketika bertemu, si bapak memerintahkan anaknya pulang
ke rumah karena ibunya sedang sakit, dan tak ada yang merawatnya jika
si bapak keluar cari nafkah. Ternyata sang anak menolak perintah si
bapak, dan tetap bersikukuh meneruskan program khuruj-nya, walapun ia
harus mendurhakai orang tuanya. Akhirnya, si bapak pulang dengan hati
sedih dan perasaan remuk. Oh, alangkah durhakanya sang anak yang
terlibat dalam kegiatan Jama’ah Tabligh (JT). Kisah ini bukanlah fiktif untuk menyudutkan Tabligh, tapi kisah nyata yang kami menjadi salah satu saksinya.
[11] Lihat As-Silsilah Ash-Shohihah (no. 342) karya Syaikh Al-Albaniy.
[12] Alhamdulillah,
kami juga sering keluar berdakwah kemana-mana setelah kami belajar di
depan para ulama di Al-Madinah An-Nabawiyyah dan Makkah Al-Mukarromah.
Kami biasa dakwah ke daerah-daerah, dan beberapa propinsi. Tak perlu
kami sebutkan nama daerah propinsinya, karena terlalu banyak jika
disebut satu persatu.
[13] Kami nukilkan dari Lamm Ad-Durr Al-Mantsur karya Jamal bin Furoihan Al-Haritsiy dari beberapa tempat yang berbeda. Kitab ini amat baik diajarkan di kalangan syabab
pada hari, karena di dalamnya terdapat atsar-atsar yang banyak
dilupakan, dan tak diketahui oleh manusia. Kami sengaja nukilkan
atsar-atsar ini agar Jama’ah Tabligh mengetahui bahwa manhaj mereka
dalam bermu’amalah dengan ahli bid’ah adalah berbeda dengan manhaj
Salafush Shalih. Qul muutuu bighoizhikum!!
[14] Andaikan Al-Imam Abu Zur’ah -rahimahullah-
hidup di zaman kita, lalu melihat kitab-kitab Jama’ah Tabligh yang
berisi pemikiran dan aqidah sesat, kami yakin beliau akan mengingkarinya
dengan keras sampai Bang Lubis dan Jama’ah Tabligh akan menggelari
beliau “suka mencela”, padahal tidak demikian. Itu adalah nasihat, bukan
celaan, wahai saudaraku !!
[15] Bukan seperti yang dikatakan oleh Muhammad Ihsan Zainuddin (da’i WI) dalam sebuah artikel yang berjudul “Kita harus berubah”, “Tapi
anehnya, hingga hari ini masih saja ada yang mengaku sebagai Ahlus
Sunnah yang membiarkan dirinya terjebak dalam “kenikmatan” menyebar
fitnah dan syubhat semacam itu (Dan anehnya, mereka tidak pernah berani
untuk tatsabbut secara langsung!)” .[Lihat Al-Bashirah (edisi 07/tahun I/1427 H/ 2006 M)] Kenapa harus tatsabbut, jika sudah jelas ?!
[16] Makna Ihya’ Ulumuddin (Menghidupkan
Ilmu Agama). Lalu diganti nama oleh ulama’ Maghrib karena isinya tak
sesuai namanya. Menurut mereka lebih layak dinamai dengan “Imatah Ulumiddin”(Mematikan Ilmu Agama).
[17] Berani dakwah, tanpa ilmu. Nah inilah ciri Jama’ah Tabligh, memiliki kesamaan dengan kaum Nashoro!! Wallahul Musta’an…
[18] Walaupun kita akui bahwa dakwah beliau ada yang tidak verbal, hanya berupa perbuatan yang dicontoh, tapi tidak semuanya!!
[19] Sekarang JT telah dikenal dengan Jama’ah Tukang
pukul pasca pemukulan yang dilakukan oleh mereka terhadap orang-orang
yang tidak mau menerima dakwah batil mereka. Sebenarnya rusaknya nama
baik JT dari pemukulan tersebut, tidak disadari oleh kaum JT.
[20] Lihat Tuhfah Al-Asyrof (no. 290) karya Abul Hajjaj Al-Mizziy.
[21] Lihat Tuhfah Al-Asyrof (no. 17559) karya Abul Hajjaj Al-Mizziy.
[22] Lihat Tuhfah Al-Asyrof (no. 13704) karya Abul Hajjaj Al-Mizziy.
[23] Yakni, surat-surat pendek, seperti: Surat Al-A’laa, Surat Al-Ghosyiyah, dan lainnya sebagaimana dalam riwayat lain.
[24] Lihat Tuhfah Al-Asyrof (no. 2533) karya Abul Hajjaj Al-Mizziy.
[25] Yaitu, orang-orang yang menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar, bukan hanya amar ma’ruf, tapi juga harus ber-nahi munkar. Ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Al-Fath (5/362).
[26] Yaitu, orang-orang yang tidak menegakkan amar ma’ruf dan tidak pula menegakkan nahi munkar,
[27] Tentunya ini mengganggu orang-orang yang di atas.
[28] Lihat Tuhfah Al-Asyrof (no. 11628) karya Al-Mizziy.
[29] Lihat Bahjah An-Nazhirin (1/278), karya Syaikh Salim Al-Hilaliy, cet. Dar Ibn Al-Jauziy, 1422 H.
[30] Andaikan kami tak sayang kepada kaum muslimin, maka kami sebenarnya tak perlu membantah QVS, sebab waktu bagi kami berharga. Tapi demikianlah konsekuensi al-haq yang kami perjuangkan; kemungkaran tak boleh kita diamkan.
[31] Lihat Tafsir Ibnu Katsir (1/507) karya Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy Al-Atsariy, cet. Mu’assasah Ar-Royyan, 1420 H.
[32] Lihat Tuhfah Al-Asyrof (no. 12607).
[33] Insya Allah, kami akan paparkan nanti beberapa peyimpangan Tabligh dalam beraqidah.
[34]
Berbeda dengan Bang Lubis, dan kedua Penulis QVS yang mengkafirkan
salafiyyun (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) secara membabi buta, tanpa
hujjah!! Beginikah didikan Jama’ah Tabligh bagi mereka?!
[35]
Ahlus Sunnah berada dalam sikap pertengahan dalam mengkafirkan orang;
pertengahan antara orang yang ekstrim dalam mengkafirkan, dan antara
orang yang teledor dalam hal ini sampai ia tak mau mengkafirkan
siapapun, walaupun sudah terpenuhi syarat ia dikafirkan. Masalah kaedah
pengkafiran ini, and abaca dalam kitab Mauqif Ahlis Sunnah Wal Jama’ah min Ahlil Bida’ wa Al-Ahwa’,
karya Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhailiy -hafizhohullah-, cet.
Maktabah Al-Ghuroba’ Al-Atsariyyah. Di dalamnya terdapat pembahasan
ilmiah yang amat rinci terhadap masalah PENGKAFIRAN, syarat-syarat, dan
penghalangnya. Kitab ini amat perlu dibaca oleh Jama’ah Tabligh,
khususnya Bang Lubis.
[36] Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim (3/678) karya Ibnu Katsir, cet. Mu’assasah Ar-Royyan, 1420 H.
[37] Lihat Tuhfah Al-Asyrof (no. 14009).
[38] Karya Ibnu Abi Ashim, Abdullah bin Ahmad, Al-Khollal, dan lainnya.
sumber link: http://almakassari.com
sumber link: http://almakassari.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar